Kapitalisme: Ancaman Kemerdekaan Manusia ~ Socialist Papua

Top Ad 728x90

Jumat, 17 Maret 2017

Kapitalisme: Ancaman Kemerdekaan Manusia Reviewed by Mambruk Post Date 18.26 Rating: 3
,

Kapitalisme: Ancaman Kemerdekaan Manusia

Manusia secara sederhana adalah seorang pekerja, dan sebagai pekerja, kualitas kemanusiaanya hanya eksis demi modal yang menjadi asing baginya


Kapitalisme: Ancaman Kemerdekaan Manusia


Oleh: Linda Sudiono*

Perekonomian gobal sedang terguncang. MF Global Holding Ltd, sebuah perusahaan pialang di Amerika Serikat bangkrut akibat kegagalan pembayaran obligasi negara. Beberapa pendapat mengatakan bahwa kurangnya pilihan investasi dan terbatasnya pilihan yang lebih prospektif mengakibatkan beberapa negara berkembang khususnya Indonesia menjadi sasaran pengalihan dana overakumulasi sepanjang pemulihan ekonomi AS dan Eropa.

Persoalannya disebabkan rentannya perekonomian Indonesia yang dipicu oleh masuknya dana dalam bentuk saham atau aset (saham) yang jauh di atas nilai wajar, yang pada akhirnya akan menyebabkan penggelembungan nilai aset,[1] dan kembali menciptakan krisis finansial yang terus berkelindan.

Kapitalis global bisa saja datang dan pergi menemukan ladang potensial untuk keluar dari krisis, yang disisakan adalah dampaknya yang harus dirasakan oleh sebuah negara karena menurunnya prospek ekonomi kedepan.

Landasan ancaman krisis dunia membuat kita sedikit memahami mengapa aksi tuntutan sedang marak terjadi di seluruh belahan dunia, mulai dari tuntutan yang bersifat ekonomis, misalnya kenaikan upah. Sampai kebijakan yang bersifat politis, menggulingkan SBY-Boediono, dan bahkan tuntutan yang ideologis: Sosialisme untuk rakyat.

Sebut saja pemogokan buruh dalam tuntutan peningkatan upah, tindakan okupasi yang dilakukan oleh warga Amerika Serikat terhadap Wall Street yang disinyalir menjadi dalang dibalik krisis finansial berskala global, aksi massif menuntut reformasi pendidikan di Chile dan Kolombia menjadi indikator ancaman kesejahteraan yang tengah mengguncang dunia, dan tak luput pula rencana Mogok Nasional Buruh yang di inisiasi oleh Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh pada tanggal 28-30 Oktober 2013 nanti. Apapun tuntutannya fenomena ini mulai menguak kebusukan dari penyakit yang lama tersembunyi: Kapitalisme.

Negara maju kehilangan akal untuk keluar dari jeratan krisis yang menjulur. Bahkan negara adidaya Amerika Serikat sedang tersengal oleh lilitan utang yang mencapai tingkat tertinggi sepanjang sejarah, yaitu 14,3 Trilliun Dollar yang setara dengan 100 Produksi Domestik Bruto (PDB) selama setahun. Memang kenyataannya dalam sistem yang berlandaskan pencarian kekayaan demi kekayaan itu sendiri, krisis yang merupakan kontradiksi internal dari sistem, merupakan tamu rutin yang tidak mungkin ditolak. Ini lah sistem Kapitalisme, sistem perekonomian yang mendominasi dunia saat ini, tidak hanya merambah pada tatanan basis struktur suatu negara tapi telah membentuk koherensi struktur dengan nilai norma, kultural dan lainnya dalam tatanan suprastruktur.

Dalam artikel singkat ini, Pertama, penulis akan memfokuskan pembahasan pada Sejarah Akumulasi dan Imperialisme Kapitalistik, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai imperialisme dalam ruang teritori. Bagian ketiga akan kita telusuri bersama mengenai pengalihan surplus kapital dan bagaimana krisis menemukan solusinya dalam wajah neoliberalisme serta peran sistem ini dalam mengeliminasi esensi hidup manusia pada bagian terakhir.

Sejarah Akumulasi dan Imperialisme Kapitalistik


Tahap awal sistem kapitalisme tumbuh dari pertarungan kelas yang bersifat revolusioner antara Tuan tanah maupun kaum bangsawan dengan para pedagang yang berkonsekuensi pada perampasan alat produksi (pada zaman feodal berupa tanah) dari tangan produsen, dan melahirkan kelas-kelas baru dengan formasi sosial yang baru pula, yaitu proletariat dan borjuasi dalam antagonisme kelas. Sebagaimana yang disampaikan oleh Karl Marx dalam Das Kapital:

“Proses yang menciptakan hubungan kapital, tiada lain proses yang menceraikan pekerja dari penguasaan kondisi kerjanya sendiri; inilah sebuah proses transformasi yang dijalankan, pertama, sarana hidup sosial dan sarana produksi dimasukkan kedalam kapital, dan kedua, produsen langsung menjadi pekerja upahan. Dengan demikian apa yang disebut akumulasi primitif tiada lain adalah proses kesejarahan pemisahan produsen dan sarana produksi. Ia muncul sebagai yang primitif karena membentuk prasejarah kapital”

Perkembangan teknologi perkapalan dan komunikasi memungkinkan perkembangan pesat dalam arus perdagangan global yang secara perlahan menghantarkan kaum borjuasi pada posisi sosial yang semakin penting. Kaum borjuis yang “terhina” kini dengan bangga membusungkan dada, merombak sistem unit pemenuhan manorial (sistem tanah milik bangsawan) menjadi sistem akumulasi nilai lebih kapital demi kapital. Kapital yang menjadi semakin penting seiring dengan laju arus pertukaran global, meningkatkan kekuasaan ekonomi dan politik kelas borjuasi yang secara perlahan mampu mendominasi alat negara untuk kepentingan sepihak.

Rosa Luxemburg secara gamblang pemaparkan tentang pengalihan sistem feodalisme yang paternalistik menuju suatu sistem pengagungan akumulasi ala kapitalisme melalui intervensi unit manorial/ persekutuan pribumi yang menjadi pelindung bagi nilai dan corak produksi pra kapitalis.

“kapitalisme bangkit dan berkembang secara kesejarahan di tengah-tengah masyarakat non kapitalis. Di Eropa Barat ditemukan pertama kali di dalam lingkungan feodal yang darinya ia bangkit, dan kemudian setelah menelan habis sistem feodal, ia ada terutama di lingkungan kaum tani dan pengrajin, atau boleh dikatakan (ditengah-tengah) sistem produksi sederhana baik itu di dalam pertanian maupun perdagangan. Kapitalisme eropa kemudian dikitari wilayah-wilayah luas peradaban non-Eropa yang merentangi semua tingkat perkembangan mulai dari komunisme primitif gerombolan penggembala berpindah, pemburu, peramu, hingga ke produksi komoditi oleh petani dan pengrajin. Inilah latar bagi akumulasi kapitalisme”[2]

Seiring dengan perkembangan embrio kapitalisme dalam mekanisme akumulasi primitif, kebutuhan akan tenaga kerja, bahan mentah, dan pasar produksi merupakan prasyarat untuk mendapatkan tiang penyangga akumulasi. Tidak lain, ekspansi kapital menjadi cara untuk mampu merealisasikan nilai lebih melalui penguasaan geografis sumber daya pendukung. Atas landasan inilah, maka kapitalisme sebagai sistem akan selalu menciptakan lahan produksi baru yang koheren dengan kategori sosial maupun nilai-nilai pendukung berdasarkan keistimewaan suatu teritori. Kehidupan sistem ini dalam logika ekspansif kemudian menumbukan watak yang ingin menguasai seluruh dunia dan menjadikan emas seluruh lahan yang disentuh, dalam bentuk kolonialisme ataupun melalui pemaksaan halus perekonomian global, dan atau melalui program penyesuaian struktural dalam dalil humanisme universal.

Imperialisme Kapitalis dalam Ruang Teritori


Imperialisme Kapitalis oleh David Harvey didefinisikan sebagai perpaduan yang kontradiktif antara “politik negara dan imperium” dengan “proses molekuler dari akumulasi kapital dalam ruang dan waktu”.[3] Pengertian ini menekankan pada imperialisme sebagai suatu proyek dalam strategi politik, diplomatik dan militer oleh negara dengan tujuan pemanfaatan sumber daya demi kepentingan kekuasaan suatu teritori secara keseluruhan serta kapitalis dalam wujud penyebaran kekuasaan lintas ruang untuk mengorganisir produksi secara kontinyu. Kedua variabel menunjukan bagaimana sistem kapitalisme dalam logika ekspansionis mampu menembus suatu ruang teritori dengan kekuasaan negara-bangsa yang dibalut dalam bingkai ideologi nasionalisme.

Sebagai penopang hidupnya, ekspansionis kapitalisme selalu membutuhkan agen negarawan yang memiliki kekuasaan negara untuk menguasai ekonomi regional. Dalam logika kapitalisme, segala sesuatu dilakukan atas landasan untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya melalui penguasaan struktur produksi dan distribusi. Dapat kita ambil contoh penjarahan yang dilakukan oleh Inggris pada abad ke XVIII. Karl Marx dengan jelas menggambarkan hal ini:

“Hukum sendiri menjadi alat yang dengannya lahan-lahan penduduk dicuri, salah satu contoh bentuk penjarahan parlementer ialah “bill for inclosure of commons”, yang kata lainnya dekrit yang dengannya penguasa lahan menganugerahi diri mereka lahan-lahan penduduk menjadi milik pribadi, dekrit penggusuran penduduk.

Praktek kekuasaan imperialisme kapitalis selalu memfokuskan diri pada penyerapan atau pembukaan lahan pada suatu wilayah dengan keistimewaan regional. Keistimewaan ini dapat berupa populasi penduduk yang dapat menyediakan ladang tenaga kerja (sehingga menjadi murah), sumber daya alam yang melimpahruah, wilayah dengan sektor yang belum tersentuh oleh kapital lain (untuk melakukan monopolisasi), atau dengan infrastruktur fisik yang memadai. Hal ini mengakibatkan diferensiasi pertumbuhan ekonomi teritori satu dengan teritori lainnya, yang lebih jauh akan berdampak pada pertukaran yang timpang antar teritori. [4]

Dalam hal ini, negara dalam kekuasaan politik mempunyai peranan penting, untuk melanggengkan pertukaran timpang antar wilayah. Dengan demikian, negara dapat memperoleh keuntungan dalam bentuk langsung akumulasi kekuasaan atas teritori secara tetap atau secara tidak langsung melalui penguasaan ekonomi untuk menstimulus kekuasaan politik negara. Kekuatan AS membuka pasar kapital diseluruh dunia lewat program penyesuaian struktural IMF maupun kontrol atas keuangan internasional melalui World Bank yang merupakan bentuk intervensi ekonomi-politik AS untuk menarik keuntungan ke dalam institusi ekonomi AS dalam rangka obsesi dominasinya terhadap dunia.

Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita sebab pergeseran dominasi negara, dari Pax Romana, Pax Britania menuju Pax Amerikana, sebagaimana yang dipaparkan oleh Arrighi:

“Sebagaimana di akhir abad ketujuhbelas dan awal abad kedelapan belas, peran hegemonik telah menjadi terlalu besar untuk ditangani suatu negara seukuran United Provinces, demikian pula di awal abad keduapuluh peran hegemonik itu menjadi terlalu besar untuk ditangani oleh suatu negara yang ukuran dan sumber dayanya sebesar Kerajaan Inggris. …….. Amerika Serikat di abad kedua puluh satu …..keuntungan biaya yang dicapainya berkat posisi geostrategisnya yang bersifat absolut ataupun relatif. Naum negara dalam kedua kasus itu juga memiliki bobot yang penting dalam ekonomi dunia yang kapitalis sehingga mampu menggeser keseimbangan kekuasaan diantara negara-negara yang saling bersaing kearah manapun yang mereka anggap cocok. Dan karena ekonomi dunia yang kapitalis telah meluas secara sangat luas pada abad kesembilanbelas, maka teritori dan sumber daya yang dibutuhkan untuk bisa hegemonik di awal abad keduapuluh juga jauh lebih besar jika dibandingkan dengan yang dibutuhkan di abad kedelapanbelas.”[5]

Keruntuhan Pax Romana yang digantikan oleh Britania dan di abad XXI sedang berlangsung peran hegemonik Amerika Serikat, merupakan bentuk keterbatasan kekuasaan teritori di tengah dinamika arus kapitalistik. Logika kapitalistik meluweskan kekuasaannya pada ruang dan waktu yang kontinyu, sedangkan kekuasaan teritori kekuasaan bersifat jangka panjang pada ruang yang terbatas[6]. Oleh karena itu, perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi yang telah menghilangkan halangan ruang dan waktu proses akumulasi kapital memperdalam tancapan tongkat kekuasaan sistem ini secara global, yang oleh kekuasaan negara semakin terhambat untuk melampaui dinamika arus kapital.

Pengalihan Surplus Kapital


Dalam hal kelebihan kapital yang tidak dapat terealisasi dalam bentuk laba karena daya beli masyarakat yang semakin menurun seiring dengan suplus tenaga kerja dalam bentuk peningkatan pengangguran, para kapitalis cenderung akan membuka lahan baru untuk dijadikan ladang surplus kapital. Kelebihan kapital akan ditanamkan dalam dua bentuk, yaitu penanaman pada kapital tetap (pabrik, mesin, aliran listrik, dan pendukung produksi lainnya) serta berupa infrastruktur fisik serta penanaman pada dana konsumsi, dapat berupa belanja sosial, atau segala sesuatu yang dapat meningkatkan daya tahan konsumen berupa infrastruktur sosial. Investasi pada surplus kapital pada infrastruktur fisik maupun sosial mensyaratkan jangka waktu yang relatif panjang dalam pengembalian sirkulasi kapital. Tentunya penanaman dalam jangka waktu panjang diyakini oleh para kapitalis adalah bersifat produktif untuk mendatangkan keuntungan dikemudian hari. Sentuhan pembangunan berupa pelabuhan, kapasitas energi, bandara, gedung perkantoran, sekolah dan lainnya untuk menciptakan tenaga terdidik, fasilitas penunjang produksi yang dapat menghilangkan hambatan waktu dan jarak, selain akan menyediakan pasar baru bagi surplus kapital sekaligus menjadikan alur investasi lebih efisien. [7]

Peran negara dan institusi finansial menjadi penting disini yang akan menjadi perantara aliran arus kapital. Jika sebagian kapital dialihkan pada investasi kapital fiktif, investasi jangka panjang pada suatu teritori yang berhasil pastinya akan menebus kembali melalui efiensi sektor produksi riil, namun jika tidak maka akan ada dua kemungkinan, yaitu penggelembungan kapital fiktif pada industri properti atau harga tanah (seperti yang terjadi pada Jepang tahun 1990 serta Thailand, Indonesia, Hongkong pada Tahun 1997 dan Amerika Serikat pada Tahun 2008 lalu) atau Devaluasi terhadap nilai investasi yang ditanamkan dalam jangka waktu panjang (dalam bentuk kesulitan pembayaran utang oleh negara dan turunnya nilai aset)

Permasalahan yang segera akan timbul dalam mekanisme pengalihan surplus kapital melalui pembangunan infrastruktur adalah terjadinya devaluasi aset-aset/nilai kapital. Jumlah besar yang ditanamkan terhadap infrastruktur suatu wilayah yang bersifat tetap akan mengurangi kapasitas realisasi nilai. Jika tidak segera dialihkan, akibatnya adalah kehancuran dan devaluasi kapital karena daya serap produksi dalam negeri yang tidak memadai, dan tidak menyelesaikan problem overproduksi. [8]

Pilihan bagi sistem ini untuk dapat tetap bertahan hidup ditengah krisis overakumulasi adalah menggerakkan keluar kapital, dengan syarat suatu daerah harus memiliki kapasitas pendukung produksi nilai lebih, misalnya cadangan nilai tukar atau komoditi. Solusi lain adalah dengan cara pemberian kredit bantuan berupa hutang. Kita ambil contoh kasus Jepang pada tahun 1990 yang memberikan pinjaman kepada Amerika Serikat untuk mengabsorbsi barangnya. Hal tersebut telah menciptakan hubungan kausalitas perbedaan pembangunan geografis teritori antara surplus disatu teritori dengan ketiadaan suplai diteritori lain.[9]

Sistem kredit ini kemudian menjebak banyak negara dalam kungkungan hutang berkepanjangan. Kebijakan Amerika Serikat untuk mengontrol keuangan internasional melalui wall street—dalam kebijakan seigniorage pasca krisis fiskal tahun 1970an akibat investasi yang berlebihan pada infrastruktur fisik dan sosial di kota New York[10]–dalam mekanisme sistem moneter semakin membuat rentan perekonomian penghutang terhadap arus kapital spekulatif, karena kontrol dominan nilai dollar dalam perekonomian internasional. Banyak negara terancam gagal untuk membayar utang dan inilah yang menjadi jebakan bagi negara penghutang untuk terlibat dalam sirkulasi kapital dan menjadi lahan untuk pembuangan surplus kapital.[11]

Jebakan “manis” terhadap Negara Dunia ketiga, dengan pengukuhan mentalitas sebagai bangsa yang kalah, yang dengan Demokrasi parlementer dan pengagungan Hak Asasi Manusianya—sesungguhnya menjadi kedok bagi setiap individu untuk menjadi lebih kuat atas namanya sendiri—ingin menunjukkan kepada dunia betapa populisnya Negara Maju yang berusaha untuk menyelamatkan Dunia ketiga dari keterbelakangan standar hidup dan peradaban, keterbelakangan predikat “Dunia Ketiga” yang diciptakan Negara “Dunia Pertama”[12]

Solusi yang Kontradiktif


Tidak perlu kita dipusingkan dengan ciri definitif dari Neoliberalisme. Dalam praktik, konsep Neoliberalisme memang telah banyak keluar dari jalur teoritisnya dan menunjukkan konsep ini memang tidak stabil dan menyimpan kontradiksi sejak kelahiran.

Konsep neoliberalisme dilahirkan untuk memberikan legalisasi sekaligus siasat terhadap pemberlakuan pasar bebas dengan alur pengutamaan kebebasan individu dalam konteks teritori kenegaraan. Negara atas kekuasaan monopoli alat kekerasan dilibatkan perannya untuk turut menjembatani realisasi “kebebasan”. Asumsi dasarnya, kebebasan bisnis akan memberikan peluang kepada setiap individu untuk mengembangkan inovasi teknologi yang mampu menciptakan gelombang kemakmuran dengan efek tetesan kebawah (Trackle Down Efect).

Mari kita hadapkan cerita manis ala pasar bebas dengan realita implementasinya. Pengembangan kreativitas teknologi dilampirkan dengan pemberlakuan Hak Milik Kekayaan Intelektual, Privatisasi aset untuk mempertegas hak milik pribadi (melalui kebohongan tragedi eksploitasi bersama sumber daya negara) mengiringi perjalanan Neoliberalisme yang pada kenyataannya mustahil untuk dapat meneteskan kemajuannya pada individu yang tidak memiliki kuasa kekayaan pribadi.

Salah satu hal penting dalam teori Neoliberalisme adalah bebasnya kegiatan bisnis dari campur tangan negara. Sektor yang sebelumnya dijalankan oleh negara haruslah diserahkan kepada swasta dan dideregulasikan. [13] Disinilah kekuasaan teritori negara menjadi penting. Landasan kekuasaan negara dalam sebuah teritori menjadi efektif diterapkan dalam pengukuhan terhadap pergeseran kekuasaan negara. Demikian negara melalui reorganisasi institusional akan mampu bersaing dengan tatanan baru secara global.

Namun, persaingan melalui pembebasan perkembangan kapasitas individu, mengindikasikan kelahiran monopoli melalui penyingkiran terhadap kapitalis dengan produktivitas yang lebih rendah, serta ancaman sosial akibat pengurangan tanggungjawab pembiayaan sosial yang dalam logika neoliberalisme akan mendistorsi nilai komoditi (misalnya subsidi sosial dan dana restorasi lingkungan). Dalam tataran politik, individu disatu sisi diberi kebebasan untuk memilih, namun disisi lain dibatasi kebebasannya dalam memilih tatanan kolektif yang kuat (misalnya pembatasan individu dalam membangun serikat buruh yang dapat mengancam posisi pengusaha). [14]Untuk menghindari kontradiksi ini, para pendukung neoliberalisme cenderung akan mengucurkan sejumlah dana sosial guna menyelamatkan penurunan kapasitas sosial sekaligus kedok untuk memperkuat cengkramannya (melalui program penyesuaian struktural IMF atau bantuan dari World Bank, namun dengan syarat pembukaan pasar yang lebih luas melalui privatisasi)

Privatisasi yang selalu diasosiasikan dengan denasionalisasi ekonomi sebuah negara selalu menjadi alat strategis oleh para adikuasa ekonomi untuk menaklukan ekonomi negara dunia berkembang. Memanfaatkan kekuasaannya, negara-negara maju akan memberikan dua pilihan untuk melancarkan upaya penaklukan ekonomi internasionalis. Pertama, menggiring negara berkembang dalam kebijakan bebas atau teralienasi dari akses ekonomi global melalui embargo ekonomi. Pola semacam ini jelas menjadi ancaman bagi organisasi sosial dan kekuatan masyarakat serta memutar balik kesejahteraan sosial—Misalnya, dalam kasus tuntutan kesejahteraan massa, jika ditelusuri secara historis, ketiadaan air minum, transportasi, bahan pangan yang mahal selalu menjadi latar belakang perlawanan rakyat melawan ekspor liberal pada abad ke-19 sampai abad 20[15]—sebab akan mengeliminasi alternatif politik ekonomi dengan merekonsentrasikan kekayaan dan aset-aset ekonomi, yang semakin meningkatkan kekuasaan pada segelintir individu diatas penderitaan jutaan masyarakat dunia yang kehilangan infrastruktur kesejahteraan sosial.


Pengeliminasian Esensi Manusia


Kebutuhan untuk merangkul seluruh kekayaan dunia dalam pangkuan segelintir individu melalui ideologi universalitas telah menyatukan manusia dari seluruh penjuru dunia ke dalam jalur Globalisasi, sekaligus memisahkan manusia kedalam fragmentasi kelas yang kontradiktif. Manusia menjadi sebatas bagian dari kapital yang akan mentransformasikan laba ke kantong pemilik modal. Mereka menjadi produsen atas kapital namun kehilangan kuasa atas kapital itu sendiri.

Perkembangan kelas dalam tataran kepentingan individu telah menegasikan produktivitas manusia lain yang teralienasi. Alienasi dalam pemahaman Marx, bukan hanya berarti manusia tidak mengalami dirinya sebagai pelaku ketika menguasai dunia, tetapi juga berarti bahwa dunia tetap asing bagi manusia.[16]

“Pekerja adalah wujud subyektif dari fakta bahwa modal adalah manusia yang telah kehilangan keseluruhan dirinya, karena modal merupakan wujud obyektif dari fakta bahwa buruh adalah manusia yang telah kehilangan dirinya. Meski demikian. Pekerja menanggung derita karena menjadi modal hidup, yakni modal yang memiliki kebutuhan, yang kehilangan kepentingannya, dan konsekuensinya, kehilangan kehidupannya setiap saat meski dia tidak bekerja……..pekerja menghasilkan modal dan modal menghasilkan pekerja. Makanya pekerja menghasilkan dirinya sendiri, dan manusia sebagai pekerja, sebagai komoditas, adalah produk dari keseluruhan proses ini. ”[17]

Tataran masyarakat kelas dalam corak produksi kapitalisme, manusia sebagai tenaga kerja menjadi bagian penting dari keseluruhan gerak produksi. Tanpa manusia mustahil ada nilai lebih, tanpa nilai lebih tidak mungkin ada laba dan tanpa laba sistem kapitalisme kehilangan pijakannya untuk hidup. Penekanan terhadap upah pekerja, dialihkan dalam bentuk kapital tetap (pembaharuan mesin) untuk mempersingkat waktu kerja terbukti terus akan menekan tingkat laba rata-rata, yang mengharuskan penemuan lahan baru bagi investasi dalam alur kompetisi bebas. Kompetisi akan berujung pada penguasaan monopolistik dengan mengeleminasi pesaing ekonomi lainnya (yang lebih rendah kapasitas produksi). Alhasil penghancuran terhadap perekonomian secara sosial, menurunkan daya beli masyarakat dan krisis kembali berkunjung.

Di samping itu, perputaran kapital dalam bentuk kapital fiktif akan menciptakan kesenjangan yang semakin besar antara nilai dan harga. Surplus kapital akan saling memperebutkan ruang investasi. Di satu sisi harga akan melambung, di sisi lain nilai tidak mengalami peningkatan, barang kembali menumpuk, sehingga modal dan tenaga kerja yang tidak lagi efisien harus disingkirkan.[18]Gelombang pengangguran meningkat dan mendistorsi taraf kebutuhan hidup pekerja sebagai manusia. Hal ini tergambar jelas dalam ungkapan Karl Marx

“Manusia secara sederhana adalah seorang pekerja, dan sebagai pekerja, kualitas kemanusiaanya hanya eksis demi modal yang menjadi asing baginya. Karena buruh dan modal saling asing, dan, makanya, hanya berhubungan secara eksternal dan aksidental, ciri asing ini pasti muncul dalam realitas. Segera ketika modal, secara terpaksa atau sukarela, tidak lagi diperuntukan bagi eksistensi pekerja, maka pekerja tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri; dia tidak mempunyai pekerjaan, upah, dan sejak dia hidup hanya sebagai pekerja, bukan sebagai manusia, dia bisa membiarkan dirinya terkubur, kelaparan, dan sebagainya. Pekerja hanyalah menjadi seorang pekerja manakala dia hidup sebagai modal bagi dirinya sendiri, dan dia hanya hidup sebagai modal manakala modal itu ada untuknya. Eksistensi modal adalah eksistensinya, hidupnya, karena modal menentukan isi hidupnya secara independen ”[19]

Konsekuensi ekonomi kapitalistik telah menciptakan krisis yang melanda ekonomi secara global, dan mengundang kehancuran kapasitas individu sebagai manusia. Tanpa kebebasan perkembangan semua orang maka kebebasan individu tak bisa terwujud.[20]Hasil dari proses produksi secara massal tidak seharusnya hanya menjadi milik segelintir orang, dengan dalil kepemilikan alat produksi, karena alat produksi akan kehilangan makna tanpa kerja transformasi dari tenaga kerja. Sistem kapitalisme telah kehilangan esensinya untuk dipertahankan, maka sah baginya untuk dihancurkan. Menjadi pertanyaan selanjutnya adalah “apakah penghancuran terhadap sistem ini hanya menjadi tanggung jawab kaum buruh?”

Adam Smith, yang tersohor sebagai bapak liberalisme memiliki argumentasi dalam memandang inferioritas buruh dihadapan majikannya:

“para majikan yang sedikit jumlahnya bisa bersekutu dengan amat mudah dan hukum memberi wewenang atau sekurangnya tidak melarang persekutuan mereka, sementara itu hukum melarang persekutuan pekerja…..disetiap pertarungan, para majikan bisa bertahan lebih lama. Seorang tuan tanah, petani pemilik tanah, pemilik pabrik, pedagang, meski mereka tidak mempekerjakan pekerja, umumnya bisa hidup dari timbunan kekayaan yang mereka peroleh sebelumnya. Banyak pekerja tidak bisa bertahan melewati seminggu, beberapa bisa bertahan sebulan, dan amat langka yang bisa bertahan sampai satu tahun. Dalam jangka panjang, pekerja mungkin diperlukan oleh majikan mereka sebagaimana majikan diperlukan oleh pekerja, namun keperluan majikan tidak buru-buru”[21]

Demikian kondisi pekerja (Buruh) di bawah penindasan kapitalisme, dan kenyataannya buruh butuh sekutu yang dilandasi oleh realita penindasan agar perjuangannya dapat berkelanjutan. Kaum tani yang oleh privatisasi diberikan ceceran petak tanah sempit dan hanyut oleh persaingan industri pertanian berskala besar dan atau kaum mahasiswa yang dicecoki kesadaran palsu untuk mensuplai tenaga kerja bagi produksi kapitalisme (sehingga memandang wajar dengan harga pendidikan yang semakin mahal) memiliki hubungan simbiosis yang mutualistik dengan kaum buruh. Kaum tani dan mahasiswa membutuhkan kaum buruh untuk memimpin pergerakan kontradiksi kelas yang menjadi landasan pijak kapitalisme, buruh dan mahasiswa membutuhkan kaum tani (sisa corak produksi yang ditinggalkan kapitalisme, khususnya di daerah agraris seperti Indonesia) untuk mendukung pergerakan yang berkelanjutan (misalnya, melalui suplai logistik) dan menjadi tanggung jawab bagi kaum intelektual (khususnya mahasiswa) untuk memberikan deskripsi landasan historis dan kontradiksi realita yang terjadi dalam alur penindasan kapitalistik, karena sesungguhnya tidak ada yang diuntungkan oleh sistem kapitalisme kecuali kapitalis itu sendiri, beserta pelayannya, negara agen imperalis baru.

“Sosialisme harus menciptakan sebuah bentuk produksi dan organisasi masyarakat dimana manusia dapat mengatasi alienasi dari produknya, dari kerjanya, dari sesamanya, dari dirinya sendiri dan dari alam; dimana dia dapat kembali menjadi dirinya sendiri dan menguasai dunia.”[22]

Jalan satu-satunya adalah membangun Konsolidasi Nasional bahkan Internasional kaum Buruh beserta sekutunya, Mahasiswa, Petani dan Kaum Miskin Kota (KMK) yang melawan, tidak mungkin dengan cara mediasi atau negosiasi namun dengan penghancuran sistem kapitalisme tanpa kompromi untuk mentransformasikan alat produksi di bawah kontrol buruh dan rakyat miskin seluruhnya. Inilah keharusan obyektif bagi seluruh rakyat miskin Indonesia untuk mendukung Mogok Nasional Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh Indonesia yang akan berlangsung pada tanggal 28-30 Oktober 2013, maka: “Kaum buruh seluruh dunia bersatulah. Kau tidak akan kehilangan apapun kecuali rantai yang membelenggu selama ini” (Karl Marx)

*Penulis adalah Anggota Pembebasan Yogyakarta dan Calon Kader Partai Pembebasan Rakyat








[1] Perdana Wahyu Santosa, Krisis Global 2011: antara peluang dan ancaman http://smartmarket.wordpress.com/2011/10/.
[2] Rosa Luxemburg, 1963, the Accumulation of Capital
[3] David Harvey, 2010, Imperialisme Baru, Resist Book, Yogyakarta
[4] ibid
[5] Menurut Arrighi, dalam David Harvey, Imperialisme Baru, 2010, Resist Book, Yogyakarta
[6] Harvey, Opcit.
[7] Ibid.
[8] ibid
[9] ibid
[10] ibid
[11] Cheryl Payer, 1974, The Debt Trap : the IMF and The Third World, Monthly Review Press, New York.
[12] Pramoedya Ananta Toer, Sikap dan Peran Kaum Intelektual Dunia Ketiga, Teks Ceramah di UI jakarta
[13] David Harvey, 2009, Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Resist Book, Yogyakarta.
[14] ibid


[15] James Petras dan Henry Veltmeyer, 2002, Imperialisme Abad 21,, Kreasi Wacana, Yogyakarta


[16] Erich Fromm, 2001, Konsep Manusia Menurut Marx, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.


[17] Karl Marx, 1844, Manuskrip tentang Ekonomi dan Filsafat


[18] Danial Indrakusuma, Korporatokrasi, Menyempurnakan Negara sebagai Pengabdi Perusahaan


[19] Karl, Opcit


[20] Cyril Smith, Kritik Marx terhadap hegel


[21] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of Wealth of Nations


[22] Fromm, Opcit

0 komentar:

Posting Komentar

Top Ad 728x90