Socialist Papua

Top Ad 728x90

More Stories

Jumat, 17 Maret 2017

Kapitalisme: Ancaman Kemerdekaan Manusia Reviewed by Mambruk Post Date 18.26 Rating: 3

Kapitalisme: Ancaman Kemerdekaan Manusia

by

Kapitalisme: Ancaman Kemerdekaan Manusia


Oleh: Linda Sudiono*

Perekonomian gobal sedang terguncang. MF Global Holding Ltd, sebuah perusahaan pialang di Amerika Serikat bangkrut akibat kegagalan pembayaran obligasi negara. Beberapa pendapat mengatakan bahwa kurangnya pilihan investasi dan terbatasnya pilihan yang lebih prospektif mengakibatkan beberapa negara berkembang khususnya Indonesia menjadi sasaran pengalihan dana overakumulasi sepanjang pemulihan ekonomi AS dan Eropa.

Persoalannya disebabkan rentannya perekonomian Indonesia yang dipicu oleh masuknya dana dalam bentuk saham atau aset (saham) yang jauh di atas nilai wajar, yang pada akhirnya akan menyebabkan penggelembungan nilai aset,[1] dan kembali menciptakan krisis finansial yang terus berkelindan.

Kapitalis global bisa saja datang dan pergi menemukan ladang potensial untuk keluar dari krisis, yang disisakan adalah dampaknya yang harus dirasakan oleh sebuah negara karena menurunnya prospek ekonomi kedepan.

Landasan ancaman krisis dunia membuat kita sedikit memahami mengapa aksi tuntutan sedang marak terjadi di seluruh belahan dunia, mulai dari tuntutan yang bersifat ekonomis, misalnya kenaikan upah. Sampai kebijakan yang bersifat politis, menggulingkan SBY-Boediono, dan bahkan tuntutan yang ideologis: Sosialisme untuk rakyat.

Sebut saja pemogokan buruh dalam tuntutan peningkatan upah, tindakan okupasi yang dilakukan oleh warga Amerika Serikat terhadap Wall Street yang disinyalir menjadi dalang dibalik krisis finansial berskala global, aksi massif menuntut reformasi pendidikan di Chile dan Kolombia menjadi indikator ancaman kesejahteraan yang tengah mengguncang dunia, dan tak luput pula rencana Mogok Nasional Buruh yang di inisiasi oleh Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh pada tanggal 28-30 Oktober 2013 nanti. Apapun tuntutannya fenomena ini mulai menguak kebusukan dari penyakit yang lama tersembunyi: Kapitalisme.

Negara maju kehilangan akal untuk keluar dari jeratan krisis yang menjulur. Bahkan negara adidaya Amerika Serikat sedang tersengal oleh lilitan utang yang mencapai tingkat tertinggi sepanjang sejarah, yaitu 14,3 Trilliun Dollar yang setara dengan 100 Produksi Domestik Bruto (PDB) selama setahun. Memang kenyataannya dalam sistem yang berlandaskan pencarian kekayaan demi kekayaan itu sendiri, krisis yang merupakan kontradiksi internal dari sistem, merupakan tamu rutin yang tidak mungkin ditolak. Ini lah sistem Kapitalisme, sistem perekonomian yang mendominasi dunia saat ini, tidak hanya merambah pada tatanan basis struktur suatu negara tapi telah membentuk koherensi struktur dengan nilai norma, kultural dan lainnya dalam tatanan suprastruktur.

Dalam artikel singkat ini, Pertama, penulis akan memfokuskan pembahasan pada Sejarah Akumulasi dan Imperialisme Kapitalistik, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai imperialisme dalam ruang teritori. Bagian ketiga akan kita telusuri bersama mengenai pengalihan surplus kapital dan bagaimana krisis menemukan solusinya dalam wajah neoliberalisme serta peran sistem ini dalam mengeliminasi esensi hidup manusia pada bagian terakhir.

Sejarah Akumulasi dan Imperialisme Kapitalistik


Tahap awal sistem kapitalisme tumbuh dari pertarungan kelas yang bersifat revolusioner antara Tuan tanah maupun kaum bangsawan dengan para pedagang yang berkonsekuensi pada perampasan alat produksi (pada zaman feodal berupa tanah) dari tangan produsen, dan melahirkan kelas-kelas baru dengan formasi sosial yang baru pula, yaitu proletariat dan borjuasi dalam antagonisme kelas. Sebagaimana yang disampaikan oleh Karl Marx dalam Das Kapital:

“Proses yang menciptakan hubungan kapital, tiada lain proses yang menceraikan pekerja dari penguasaan kondisi kerjanya sendiri; inilah sebuah proses transformasi yang dijalankan, pertama, sarana hidup sosial dan sarana produksi dimasukkan kedalam kapital, dan kedua, produsen langsung menjadi pekerja upahan. Dengan demikian apa yang disebut akumulasi primitif tiada lain adalah proses kesejarahan pemisahan produsen dan sarana produksi. Ia muncul sebagai yang primitif karena membentuk prasejarah kapital”

Perkembangan teknologi perkapalan dan komunikasi memungkinkan perkembangan pesat dalam arus perdagangan global yang secara perlahan menghantarkan kaum borjuasi pada posisi sosial yang semakin penting. Kaum borjuis yang “terhina” kini dengan bangga membusungkan dada, merombak sistem unit pemenuhan manorial (sistem tanah milik bangsawan) menjadi sistem akumulasi nilai lebih kapital demi kapital. Kapital yang menjadi semakin penting seiring dengan laju arus pertukaran global, meningkatkan kekuasaan ekonomi dan politik kelas borjuasi yang secara perlahan mampu mendominasi alat negara untuk kepentingan sepihak.

Rosa Luxemburg secara gamblang pemaparkan tentang pengalihan sistem feodalisme yang paternalistik menuju suatu sistem pengagungan akumulasi ala kapitalisme melalui intervensi unit manorial/ persekutuan pribumi yang menjadi pelindung bagi nilai dan corak produksi pra kapitalis.

“kapitalisme bangkit dan berkembang secara kesejarahan di tengah-tengah masyarakat non kapitalis. Di Eropa Barat ditemukan pertama kali di dalam lingkungan feodal yang darinya ia bangkit, dan kemudian setelah menelan habis sistem feodal, ia ada terutama di lingkungan kaum tani dan pengrajin, atau boleh dikatakan (ditengah-tengah) sistem produksi sederhana baik itu di dalam pertanian maupun perdagangan. Kapitalisme eropa kemudian dikitari wilayah-wilayah luas peradaban non-Eropa yang merentangi semua tingkat perkembangan mulai dari komunisme primitif gerombolan penggembala berpindah, pemburu, peramu, hingga ke produksi komoditi oleh petani dan pengrajin. Inilah latar bagi akumulasi kapitalisme”[2]

Seiring dengan perkembangan embrio kapitalisme dalam mekanisme akumulasi primitif, kebutuhan akan tenaga kerja, bahan mentah, dan pasar produksi merupakan prasyarat untuk mendapatkan tiang penyangga akumulasi. Tidak lain, ekspansi kapital menjadi cara untuk mampu merealisasikan nilai lebih melalui penguasaan geografis sumber daya pendukung. Atas landasan inilah, maka kapitalisme sebagai sistem akan selalu menciptakan lahan produksi baru yang koheren dengan kategori sosial maupun nilai-nilai pendukung berdasarkan keistimewaan suatu teritori. Kehidupan sistem ini dalam logika ekspansif kemudian menumbukan watak yang ingin menguasai seluruh dunia dan menjadikan emas seluruh lahan yang disentuh, dalam bentuk kolonialisme ataupun melalui pemaksaan halus perekonomian global, dan atau melalui program penyesuaian struktural dalam dalil humanisme universal.

Imperialisme Kapitalis dalam Ruang Teritori


Imperialisme Kapitalis oleh David Harvey didefinisikan sebagai perpaduan yang kontradiktif antara “politik negara dan imperium” dengan “proses molekuler dari akumulasi kapital dalam ruang dan waktu”.[3] Pengertian ini menekankan pada imperialisme sebagai suatu proyek dalam strategi politik, diplomatik dan militer oleh negara dengan tujuan pemanfaatan sumber daya demi kepentingan kekuasaan suatu teritori secara keseluruhan serta kapitalis dalam wujud penyebaran kekuasaan lintas ruang untuk mengorganisir produksi secara kontinyu. Kedua variabel menunjukan bagaimana sistem kapitalisme dalam logika ekspansionis mampu menembus suatu ruang teritori dengan kekuasaan negara-bangsa yang dibalut dalam bingkai ideologi nasionalisme.

Sebagai penopang hidupnya, ekspansionis kapitalisme selalu membutuhkan agen negarawan yang memiliki kekuasaan negara untuk menguasai ekonomi regional. Dalam logika kapitalisme, segala sesuatu dilakukan atas landasan untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya melalui penguasaan struktur produksi dan distribusi. Dapat kita ambil contoh penjarahan yang dilakukan oleh Inggris pada abad ke XVIII. Karl Marx dengan jelas menggambarkan hal ini:

“Hukum sendiri menjadi alat yang dengannya lahan-lahan penduduk dicuri, salah satu contoh bentuk penjarahan parlementer ialah “bill for inclosure of commons”, yang kata lainnya dekrit yang dengannya penguasa lahan menganugerahi diri mereka lahan-lahan penduduk menjadi milik pribadi, dekrit penggusuran penduduk.

Praktek kekuasaan imperialisme kapitalis selalu memfokuskan diri pada penyerapan atau pembukaan lahan pada suatu wilayah dengan keistimewaan regional. Keistimewaan ini dapat berupa populasi penduduk yang dapat menyediakan ladang tenaga kerja (sehingga menjadi murah), sumber daya alam yang melimpahruah, wilayah dengan sektor yang belum tersentuh oleh kapital lain (untuk melakukan monopolisasi), atau dengan infrastruktur fisik yang memadai. Hal ini mengakibatkan diferensiasi pertumbuhan ekonomi teritori satu dengan teritori lainnya, yang lebih jauh akan berdampak pada pertukaran yang timpang antar teritori. [4]

Dalam hal ini, negara dalam kekuasaan politik mempunyai peranan penting, untuk melanggengkan pertukaran timpang antar wilayah. Dengan demikian, negara dapat memperoleh keuntungan dalam bentuk langsung akumulasi kekuasaan atas teritori secara tetap atau secara tidak langsung melalui penguasaan ekonomi untuk menstimulus kekuasaan politik negara. Kekuatan AS membuka pasar kapital diseluruh dunia lewat program penyesuaian struktural IMF maupun kontrol atas keuangan internasional melalui World Bank yang merupakan bentuk intervensi ekonomi-politik AS untuk menarik keuntungan ke dalam institusi ekonomi AS dalam rangka obsesi dominasinya terhadap dunia.

Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita sebab pergeseran dominasi negara, dari Pax Romana, Pax Britania menuju Pax Amerikana, sebagaimana yang dipaparkan oleh Arrighi:

“Sebagaimana di akhir abad ketujuhbelas dan awal abad kedelapan belas, peran hegemonik telah menjadi terlalu besar untuk ditangani suatu negara seukuran United Provinces, demikian pula di awal abad keduapuluh peran hegemonik itu menjadi terlalu besar untuk ditangani oleh suatu negara yang ukuran dan sumber dayanya sebesar Kerajaan Inggris. …….. Amerika Serikat di abad kedua puluh satu …..keuntungan biaya yang dicapainya berkat posisi geostrategisnya yang bersifat absolut ataupun relatif. Naum negara dalam kedua kasus itu juga memiliki bobot yang penting dalam ekonomi dunia yang kapitalis sehingga mampu menggeser keseimbangan kekuasaan diantara negara-negara yang saling bersaing kearah manapun yang mereka anggap cocok. Dan karena ekonomi dunia yang kapitalis telah meluas secara sangat luas pada abad kesembilanbelas, maka teritori dan sumber daya yang dibutuhkan untuk bisa hegemonik di awal abad keduapuluh juga jauh lebih besar jika dibandingkan dengan yang dibutuhkan di abad kedelapanbelas.”[5]

Keruntuhan Pax Romana yang digantikan oleh Britania dan di abad XXI sedang berlangsung peran hegemonik Amerika Serikat, merupakan bentuk keterbatasan kekuasaan teritori di tengah dinamika arus kapitalistik. Logika kapitalistik meluweskan kekuasaannya pada ruang dan waktu yang kontinyu, sedangkan kekuasaan teritori kekuasaan bersifat jangka panjang pada ruang yang terbatas[6]. Oleh karena itu, perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi yang telah menghilangkan halangan ruang dan waktu proses akumulasi kapital memperdalam tancapan tongkat kekuasaan sistem ini secara global, yang oleh kekuasaan negara semakin terhambat untuk melampaui dinamika arus kapital.

Pengalihan Surplus Kapital


Dalam hal kelebihan kapital yang tidak dapat terealisasi dalam bentuk laba karena daya beli masyarakat yang semakin menurun seiring dengan suplus tenaga kerja dalam bentuk peningkatan pengangguran, para kapitalis cenderung akan membuka lahan baru untuk dijadikan ladang surplus kapital. Kelebihan kapital akan ditanamkan dalam dua bentuk, yaitu penanaman pada kapital tetap (pabrik, mesin, aliran listrik, dan pendukung produksi lainnya) serta berupa infrastruktur fisik serta penanaman pada dana konsumsi, dapat berupa belanja sosial, atau segala sesuatu yang dapat meningkatkan daya tahan konsumen berupa infrastruktur sosial. Investasi pada surplus kapital pada infrastruktur fisik maupun sosial mensyaratkan jangka waktu yang relatif panjang dalam pengembalian sirkulasi kapital. Tentunya penanaman dalam jangka waktu panjang diyakini oleh para kapitalis adalah bersifat produktif untuk mendatangkan keuntungan dikemudian hari. Sentuhan pembangunan berupa pelabuhan, kapasitas energi, bandara, gedung perkantoran, sekolah dan lainnya untuk menciptakan tenaga terdidik, fasilitas penunjang produksi yang dapat menghilangkan hambatan waktu dan jarak, selain akan menyediakan pasar baru bagi surplus kapital sekaligus menjadikan alur investasi lebih efisien. [7]

Peran negara dan institusi finansial menjadi penting disini yang akan menjadi perantara aliran arus kapital. Jika sebagian kapital dialihkan pada investasi kapital fiktif, investasi jangka panjang pada suatu teritori yang berhasil pastinya akan menebus kembali melalui efiensi sektor produksi riil, namun jika tidak maka akan ada dua kemungkinan, yaitu penggelembungan kapital fiktif pada industri properti atau harga tanah (seperti yang terjadi pada Jepang tahun 1990 serta Thailand, Indonesia, Hongkong pada Tahun 1997 dan Amerika Serikat pada Tahun 2008 lalu) atau Devaluasi terhadap nilai investasi yang ditanamkan dalam jangka waktu panjang (dalam bentuk kesulitan pembayaran utang oleh negara dan turunnya nilai aset)

Permasalahan yang segera akan timbul dalam mekanisme pengalihan surplus kapital melalui pembangunan infrastruktur adalah terjadinya devaluasi aset-aset/nilai kapital. Jumlah besar yang ditanamkan terhadap infrastruktur suatu wilayah yang bersifat tetap akan mengurangi kapasitas realisasi nilai. Jika tidak segera dialihkan, akibatnya adalah kehancuran dan devaluasi kapital karena daya serap produksi dalam negeri yang tidak memadai, dan tidak menyelesaikan problem overproduksi. [8]

Pilihan bagi sistem ini untuk dapat tetap bertahan hidup ditengah krisis overakumulasi adalah menggerakkan keluar kapital, dengan syarat suatu daerah harus memiliki kapasitas pendukung produksi nilai lebih, misalnya cadangan nilai tukar atau komoditi. Solusi lain adalah dengan cara pemberian kredit bantuan berupa hutang. Kita ambil contoh kasus Jepang pada tahun 1990 yang memberikan pinjaman kepada Amerika Serikat untuk mengabsorbsi barangnya. Hal tersebut telah menciptakan hubungan kausalitas perbedaan pembangunan geografis teritori antara surplus disatu teritori dengan ketiadaan suplai diteritori lain.[9]

Sistem kredit ini kemudian menjebak banyak negara dalam kungkungan hutang berkepanjangan. Kebijakan Amerika Serikat untuk mengontrol keuangan internasional melalui wall street—dalam kebijakan seigniorage pasca krisis fiskal tahun 1970an akibat investasi yang berlebihan pada infrastruktur fisik dan sosial di kota New York[10]–dalam mekanisme sistem moneter semakin membuat rentan perekonomian penghutang terhadap arus kapital spekulatif, karena kontrol dominan nilai dollar dalam perekonomian internasional. Banyak negara terancam gagal untuk membayar utang dan inilah yang menjadi jebakan bagi negara penghutang untuk terlibat dalam sirkulasi kapital dan menjadi lahan untuk pembuangan surplus kapital.[11]

Jebakan “manis” terhadap Negara Dunia ketiga, dengan pengukuhan mentalitas sebagai bangsa yang kalah, yang dengan Demokrasi parlementer dan pengagungan Hak Asasi Manusianya—sesungguhnya menjadi kedok bagi setiap individu untuk menjadi lebih kuat atas namanya sendiri—ingin menunjukkan kepada dunia betapa populisnya Negara Maju yang berusaha untuk menyelamatkan Dunia ketiga dari keterbelakangan standar hidup dan peradaban, keterbelakangan predikat “Dunia Ketiga” yang diciptakan Negara “Dunia Pertama”[12]

Solusi yang Kontradiktif


Tidak perlu kita dipusingkan dengan ciri definitif dari Neoliberalisme. Dalam praktik, konsep Neoliberalisme memang telah banyak keluar dari jalur teoritisnya dan menunjukkan konsep ini memang tidak stabil dan menyimpan kontradiksi sejak kelahiran.

Konsep neoliberalisme dilahirkan untuk memberikan legalisasi sekaligus siasat terhadap pemberlakuan pasar bebas dengan alur pengutamaan kebebasan individu dalam konteks teritori kenegaraan. Negara atas kekuasaan monopoli alat kekerasan dilibatkan perannya untuk turut menjembatani realisasi “kebebasan”. Asumsi dasarnya, kebebasan bisnis akan memberikan peluang kepada setiap individu untuk mengembangkan inovasi teknologi yang mampu menciptakan gelombang kemakmuran dengan efek tetesan kebawah (Trackle Down Efect).

Mari kita hadapkan cerita manis ala pasar bebas dengan realita implementasinya. Pengembangan kreativitas teknologi dilampirkan dengan pemberlakuan Hak Milik Kekayaan Intelektual, Privatisasi aset untuk mempertegas hak milik pribadi (melalui kebohongan tragedi eksploitasi bersama sumber daya negara) mengiringi perjalanan Neoliberalisme yang pada kenyataannya mustahil untuk dapat meneteskan kemajuannya pada individu yang tidak memiliki kuasa kekayaan pribadi.

Salah satu hal penting dalam teori Neoliberalisme adalah bebasnya kegiatan bisnis dari campur tangan negara. Sektor yang sebelumnya dijalankan oleh negara haruslah diserahkan kepada swasta dan dideregulasikan. [13] Disinilah kekuasaan teritori negara menjadi penting. Landasan kekuasaan negara dalam sebuah teritori menjadi efektif diterapkan dalam pengukuhan terhadap pergeseran kekuasaan negara. Demikian negara melalui reorganisasi institusional akan mampu bersaing dengan tatanan baru secara global.

Namun, persaingan melalui pembebasan perkembangan kapasitas individu, mengindikasikan kelahiran monopoli melalui penyingkiran terhadap kapitalis dengan produktivitas yang lebih rendah, serta ancaman sosial akibat pengurangan tanggungjawab pembiayaan sosial yang dalam logika neoliberalisme akan mendistorsi nilai komoditi (misalnya subsidi sosial dan dana restorasi lingkungan). Dalam tataran politik, individu disatu sisi diberi kebebasan untuk memilih, namun disisi lain dibatasi kebebasannya dalam memilih tatanan kolektif yang kuat (misalnya pembatasan individu dalam membangun serikat buruh yang dapat mengancam posisi pengusaha). [14]Untuk menghindari kontradiksi ini, para pendukung neoliberalisme cenderung akan mengucurkan sejumlah dana sosial guna menyelamatkan penurunan kapasitas sosial sekaligus kedok untuk memperkuat cengkramannya (melalui program penyesuaian struktural IMF atau bantuan dari World Bank, namun dengan syarat pembukaan pasar yang lebih luas melalui privatisasi)

Privatisasi yang selalu diasosiasikan dengan denasionalisasi ekonomi sebuah negara selalu menjadi alat strategis oleh para adikuasa ekonomi untuk menaklukan ekonomi negara dunia berkembang. Memanfaatkan kekuasaannya, negara-negara maju akan memberikan dua pilihan untuk melancarkan upaya penaklukan ekonomi internasionalis. Pertama, menggiring negara berkembang dalam kebijakan bebas atau teralienasi dari akses ekonomi global melalui embargo ekonomi. Pola semacam ini jelas menjadi ancaman bagi organisasi sosial dan kekuatan masyarakat serta memutar balik kesejahteraan sosial—Misalnya, dalam kasus tuntutan kesejahteraan massa, jika ditelusuri secara historis, ketiadaan air minum, transportasi, bahan pangan yang mahal selalu menjadi latar belakang perlawanan rakyat melawan ekspor liberal pada abad ke-19 sampai abad 20[15]—sebab akan mengeliminasi alternatif politik ekonomi dengan merekonsentrasikan kekayaan dan aset-aset ekonomi, yang semakin meningkatkan kekuasaan pada segelintir individu diatas penderitaan jutaan masyarakat dunia yang kehilangan infrastruktur kesejahteraan sosial.


Pengeliminasian Esensi Manusia


Kebutuhan untuk merangkul seluruh kekayaan dunia dalam pangkuan segelintir individu melalui ideologi universalitas telah menyatukan manusia dari seluruh penjuru dunia ke dalam jalur Globalisasi, sekaligus memisahkan manusia kedalam fragmentasi kelas yang kontradiktif. Manusia menjadi sebatas bagian dari kapital yang akan mentransformasikan laba ke kantong pemilik modal. Mereka menjadi produsen atas kapital namun kehilangan kuasa atas kapital itu sendiri.

Perkembangan kelas dalam tataran kepentingan individu telah menegasikan produktivitas manusia lain yang teralienasi. Alienasi dalam pemahaman Marx, bukan hanya berarti manusia tidak mengalami dirinya sebagai pelaku ketika menguasai dunia, tetapi juga berarti bahwa dunia tetap asing bagi manusia.[16]

“Pekerja adalah wujud subyektif dari fakta bahwa modal adalah manusia yang telah kehilangan keseluruhan dirinya, karena modal merupakan wujud obyektif dari fakta bahwa buruh adalah manusia yang telah kehilangan dirinya. Meski demikian. Pekerja menanggung derita karena menjadi modal hidup, yakni modal yang memiliki kebutuhan, yang kehilangan kepentingannya, dan konsekuensinya, kehilangan kehidupannya setiap saat meski dia tidak bekerja……..pekerja menghasilkan modal dan modal menghasilkan pekerja. Makanya pekerja menghasilkan dirinya sendiri, dan manusia sebagai pekerja, sebagai komoditas, adalah produk dari keseluruhan proses ini. ”[17]

Tataran masyarakat kelas dalam corak produksi kapitalisme, manusia sebagai tenaga kerja menjadi bagian penting dari keseluruhan gerak produksi. Tanpa manusia mustahil ada nilai lebih, tanpa nilai lebih tidak mungkin ada laba dan tanpa laba sistem kapitalisme kehilangan pijakannya untuk hidup. Penekanan terhadap upah pekerja, dialihkan dalam bentuk kapital tetap (pembaharuan mesin) untuk mempersingkat waktu kerja terbukti terus akan menekan tingkat laba rata-rata, yang mengharuskan penemuan lahan baru bagi investasi dalam alur kompetisi bebas. Kompetisi akan berujung pada penguasaan monopolistik dengan mengeleminasi pesaing ekonomi lainnya (yang lebih rendah kapasitas produksi). Alhasil penghancuran terhadap perekonomian secara sosial, menurunkan daya beli masyarakat dan krisis kembali berkunjung.

Di samping itu, perputaran kapital dalam bentuk kapital fiktif akan menciptakan kesenjangan yang semakin besar antara nilai dan harga. Surplus kapital akan saling memperebutkan ruang investasi. Di satu sisi harga akan melambung, di sisi lain nilai tidak mengalami peningkatan, barang kembali menumpuk, sehingga modal dan tenaga kerja yang tidak lagi efisien harus disingkirkan.[18]Gelombang pengangguran meningkat dan mendistorsi taraf kebutuhan hidup pekerja sebagai manusia. Hal ini tergambar jelas dalam ungkapan Karl Marx

“Manusia secara sederhana adalah seorang pekerja, dan sebagai pekerja, kualitas kemanusiaanya hanya eksis demi modal yang menjadi asing baginya. Karena buruh dan modal saling asing, dan, makanya, hanya berhubungan secara eksternal dan aksidental, ciri asing ini pasti muncul dalam realitas. Segera ketika modal, secara terpaksa atau sukarela, tidak lagi diperuntukan bagi eksistensi pekerja, maka pekerja tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri; dia tidak mempunyai pekerjaan, upah, dan sejak dia hidup hanya sebagai pekerja, bukan sebagai manusia, dia bisa membiarkan dirinya terkubur, kelaparan, dan sebagainya. Pekerja hanyalah menjadi seorang pekerja manakala dia hidup sebagai modal bagi dirinya sendiri, dan dia hanya hidup sebagai modal manakala modal itu ada untuknya. Eksistensi modal adalah eksistensinya, hidupnya, karena modal menentukan isi hidupnya secara independen ”[19]

Konsekuensi ekonomi kapitalistik telah menciptakan krisis yang melanda ekonomi secara global, dan mengundang kehancuran kapasitas individu sebagai manusia. Tanpa kebebasan perkembangan semua orang maka kebebasan individu tak bisa terwujud.[20]Hasil dari proses produksi secara massal tidak seharusnya hanya menjadi milik segelintir orang, dengan dalil kepemilikan alat produksi, karena alat produksi akan kehilangan makna tanpa kerja transformasi dari tenaga kerja. Sistem kapitalisme telah kehilangan esensinya untuk dipertahankan, maka sah baginya untuk dihancurkan. Menjadi pertanyaan selanjutnya adalah “apakah penghancuran terhadap sistem ini hanya menjadi tanggung jawab kaum buruh?”

Adam Smith, yang tersohor sebagai bapak liberalisme memiliki argumentasi dalam memandang inferioritas buruh dihadapan majikannya:

“para majikan yang sedikit jumlahnya bisa bersekutu dengan amat mudah dan hukum memberi wewenang atau sekurangnya tidak melarang persekutuan mereka, sementara itu hukum melarang persekutuan pekerja…..disetiap pertarungan, para majikan bisa bertahan lebih lama. Seorang tuan tanah, petani pemilik tanah, pemilik pabrik, pedagang, meski mereka tidak mempekerjakan pekerja, umumnya bisa hidup dari timbunan kekayaan yang mereka peroleh sebelumnya. Banyak pekerja tidak bisa bertahan melewati seminggu, beberapa bisa bertahan sebulan, dan amat langka yang bisa bertahan sampai satu tahun. Dalam jangka panjang, pekerja mungkin diperlukan oleh majikan mereka sebagaimana majikan diperlukan oleh pekerja, namun keperluan majikan tidak buru-buru”[21]

Demikian kondisi pekerja (Buruh) di bawah penindasan kapitalisme, dan kenyataannya buruh butuh sekutu yang dilandasi oleh realita penindasan agar perjuangannya dapat berkelanjutan. Kaum tani yang oleh privatisasi diberikan ceceran petak tanah sempit dan hanyut oleh persaingan industri pertanian berskala besar dan atau kaum mahasiswa yang dicecoki kesadaran palsu untuk mensuplai tenaga kerja bagi produksi kapitalisme (sehingga memandang wajar dengan harga pendidikan yang semakin mahal) memiliki hubungan simbiosis yang mutualistik dengan kaum buruh. Kaum tani dan mahasiswa membutuhkan kaum buruh untuk memimpin pergerakan kontradiksi kelas yang menjadi landasan pijak kapitalisme, buruh dan mahasiswa membutuhkan kaum tani (sisa corak produksi yang ditinggalkan kapitalisme, khususnya di daerah agraris seperti Indonesia) untuk mendukung pergerakan yang berkelanjutan (misalnya, melalui suplai logistik) dan menjadi tanggung jawab bagi kaum intelektual (khususnya mahasiswa) untuk memberikan deskripsi landasan historis dan kontradiksi realita yang terjadi dalam alur penindasan kapitalistik, karena sesungguhnya tidak ada yang diuntungkan oleh sistem kapitalisme kecuali kapitalis itu sendiri, beserta pelayannya, negara agen imperalis baru.

“Sosialisme harus menciptakan sebuah bentuk produksi dan organisasi masyarakat dimana manusia dapat mengatasi alienasi dari produknya, dari kerjanya, dari sesamanya, dari dirinya sendiri dan dari alam; dimana dia dapat kembali menjadi dirinya sendiri dan menguasai dunia.”[22]

Jalan satu-satunya adalah membangun Konsolidasi Nasional bahkan Internasional kaum Buruh beserta sekutunya, Mahasiswa, Petani dan Kaum Miskin Kota (KMK) yang melawan, tidak mungkin dengan cara mediasi atau negosiasi namun dengan penghancuran sistem kapitalisme tanpa kompromi untuk mentransformasikan alat produksi di bawah kontrol buruh dan rakyat miskin seluruhnya. Inilah keharusan obyektif bagi seluruh rakyat miskin Indonesia untuk mendukung Mogok Nasional Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh Indonesia yang akan berlangsung pada tanggal 28-30 Oktober 2013, maka: “Kaum buruh seluruh dunia bersatulah. Kau tidak akan kehilangan apapun kecuali rantai yang membelenggu selama ini” (Karl Marx)

*Penulis adalah Anggota Pembebasan Yogyakarta dan Calon Kader Partai Pembebasan Rakyat








[1] Perdana Wahyu Santosa, Krisis Global 2011: antara peluang dan ancaman http://smartmarket.wordpress.com/2011/10/.
[2] Rosa Luxemburg, 1963, the Accumulation of Capital
[3] David Harvey, 2010, Imperialisme Baru, Resist Book, Yogyakarta
[4] ibid
[5] Menurut Arrighi, dalam David Harvey, Imperialisme Baru, 2010, Resist Book, Yogyakarta
[6] Harvey, Opcit.
[7] Ibid.
[8] ibid
[9] ibid
[10] ibid
[11] Cheryl Payer, 1974, The Debt Trap : the IMF and The Third World, Monthly Review Press, New York.
[12] Pramoedya Ananta Toer, Sikap dan Peran Kaum Intelektual Dunia Ketiga, Teks Ceramah di UI jakarta
[13] David Harvey, 2009, Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Resist Book, Yogyakarta.
[14] ibid


[15] James Petras dan Henry Veltmeyer, 2002, Imperialisme Abad 21,, Kreasi Wacana, Yogyakarta


[16] Erich Fromm, 2001, Konsep Manusia Menurut Marx, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.


[17] Karl Marx, 1844, Manuskrip tentang Ekonomi dan Filsafat


[18] Danial Indrakusuma, Korporatokrasi, Menyempurnakan Negara sebagai Pengabdi Perusahaan


[19] Karl, Opcit


[20] Cyril Smith, Kritik Marx terhadap hegel


[21] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of Wealth of Nations


[22] Fromm, Opcit

Rabu, 01 Maret 2017

Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri Dalam Hukum Internasional Reviewed by Mambruk Post Date 16.42 Rating: 3

Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri Dalam Hukum Internasional

by


Ringkasan berikut bersumber dari Makalah West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Hukum Internasional yang ditulis pada tahun 2010 oleh Melinda Janki, seorang pengacara publik berbasis di Inggris, yang juga memimpin asosiasi Pengacara Internasional untuk West Papua (ILWP).

Diterjemahkan oleh Victor Yeimo. Makalah tersebut membahas:
  • Status hukum Pepera dan menyimpulkan bahwa PEPERA merupakan PELANGGARAN hak penentuan nasib sendiri rakyat West Papua dalam hukum internasional.
  • Klaim teritorial Indonesia tidak menjustifikasi (membenarkan secara hukum) kedaulatan Indonesia atas West Papua.
  • Kehadiran Indonesia di West Papua adalah illegal, dan ilegalitas ini menjadi BASIS bagi KONFLIK berkepanjangan di West Papua.

Oleh karena itu, klaim kedaulatan Indonesia atas West Papua, dan klaim West Papua atas hak penentuan nasib sendiri diatur (dan harus diselesaikan) oleh hukum internasional, bukan hukum domestik. Sehingga, harus diselenggarakan penentuan nasib sendiri yang sesuai dengan hukum internasional, hingga akhirnya menetapkan status internasional atas West Papua.

Read More...

Kamis, 07 April 2016

PEMBEBASAN NASIONAL ATAU NASIONALISME? Reviewed by Mambruk Post Date 15.43 Rating: 3

PEMBEBASAN NASIONAL ATAU NASIONALISME?

by

Oleh: Paulus Suryanta

Pengantar

Dewasa ini, dengan semakin kuatnya cengkraman Imperialisme di negeri ini, kaum borjuis dengan kencang, kembali menggembar-gemborkan perihal Nasionalisme. Sangat penting bagi kaum kiri untuk menilai lebih dalam, apa maksud-maksud dari kampanye ideologis kaum borjuis ini. Apakah suatu jawaban terhadap persoalan hari ini: penyempitan ruang demokrasi dan kemiskinan ataukah jebakan yang menghantarkan mayoritas rakyat miskin Indonesia terjerembab semakin dalam di jurang ketertindasan?

Untuk memahami ini, sangat penting bagi kita untuk memahami apa itu “Nation” atau Bangsa? Kapan, bagaimana dan apa syarat-syarat kemunculannya, terutama dalam konteks Indonesia? Apa itu Nasionalisme? Siapa yang berkepentingan terhadap Nasionalisme? Apa itu Pembebasan Nasional (National Liberation)? Apa kepentingan dan tujuan dari Pembebasan Nasional.

Jika kaum kiri tidak menjawab persoalan-persoalan ini, tidak pelak lagi akan mudah terjatuh dalam chauvinisme, reformisme ataupun oportunisme dalam posisi politiknya, yang ini membahayakan bagi keberlanjutan perjuangan untuk meniadakan penindasan dari manusia terhadap manusia yang lain (Klas).

Readmore: Pembebasan Nasional atau Nasionalisme
Kritik Terhadap Kaum Post Marxist Reviewed by Mambruk Post Date 12.49 Rating: 3

Kritik Terhadap Kaum Post Marxist

by

Oleh James Petras

- James Petras adalah seorang Profesor Sosiologi di Universitas Binghampton, New York, Amerika Serikat. Tulisan-tulisannya banyak mengupas soal politik dan pengalaman praktek gerakan revolusioner di Amerika Latin. Ia juga seorang contributing editor di Jurnal LINKS.

Post-Marxisme memang sedang menjadi trend di kalangan kaum intelektual setelah kemenangan neo-liberalisme dan kemunduran kaum kelas pekerja. Ruang politik yang dikosongkan oleh kaum kiri reformis (di Amerika Latin) kini telah diambil alih oleh politisi dan ideolog kapitalis, teknokrat serta kelompok-kelompok gereja fundamentalis dan tradisional (Pantekosta dan Vatikan). Sebelumnyaya ruang ini diisi oleh kaum sosialis, nasionalis dan politikus populis serta aktivis-aktivis gereja yang berafiliasi pada teologi pembebasan. Kaum kiri-tengah sangat berpengaruh dalam politik rejim penguasa (di atas) atau di kalangan massa rakyat yang kurang politis (di bawah). Ruang kosong yang tadinya dikuasai kiri radikal kini digantikan oleh intelektual politik, dan sektor- sektor yang telah menjadi politis seperti serikat buruh, kaum miskin kota dan gerakan sosial di perkotaan. Di kalangan grup-grup inilah perdebatan dan konflik antara marxime dan post-marxisme menjadi sangat intens pada saat-saat itu.

Diasuh, dan dalam banyak kasus disubsidi oleh lembaga-lembaga dana penting dan lembaga-lembaga pemerintah yag mempromosikan neo-liberalisme, sejumlah besar organisasi-organisasi "sosial" telah tumbuh dan berkembang membawa ideologi, jaringan-jaringan dan praktek-prekatek yang secara langsung berkompetisi dan berkonflik berha-dapan dengan teori dan praktek marxis. Organisasi-organsiasi ini - dalam banyak kasus memunculkan diri mereka sebagai Non-Govermental Organization (NGO/LSM) atau lembaga-lembaga serta pusat penelitian independen - menjadi aktif memajukan ideologi dan praktek-praktek politik yang dapat sesuai dengan agenda neo-liberal dari patron-patron pendananya. Tulisan di bawah ini akan menggambarkan dan sekaligus mengkritik setiap komponen dari ideologi mereka dan kembali memblejeti aktivitas-aktivitas kaum neo-liberal, sekaligus membandingkan dengan gerakan dan pendekatan yang berbasiskan kelas. Setelah itu akan diikuti dengan diskusi tentang asal-usul blok post-marxisme, evolusinya dan masa depannya sehubungan dengan kemunduran dan kemungkinan kembalinya marxisme.

KOMPONEN-KOMPONEN POST-MARXISME

Kaum post marxisme sebenarnya berasal dari kaum eks-marxis yang berangkat dari kritik terhadap marxisme danmengelaborasikan beberapa poin di dalam kritik-kritiknya untuk menjadi sebuah landasan penemuan teori-teori alternatif atau paling tidak sebagai garis analisa yang masuk akal. Mari kita melihat sepuluh argumentasi dasar yang biasa ditemukan dalam diskursus-diskursus post marxime:


  1. Sosialisme adalah sebuah kegagalan dan semua teori kemasyarakatan secara umum menyalahkan jika ada yang hendak mengulanginya lagi. Ideologi-ideologi adalah sesuatu yang salah! (kecuali Post-marxisme!), karena ideologi merefleksikan sebuah dunia pemikiran yang didominasi oleh satu sistim gender/ras.
  2. Penekanan Marxis pada kelas-kelas sosial adalah "reduksionis" karena kelas-kelas membaur; Hal yang terpenting adalah pendekatan kebudayaan dan berakar pada perbedaan identitas (ras, gender,etnik, seksuil).
  3. Negara adalah musuh demokrasi dan kebebasan. Negara adalah lambang bentuk-bentuk yang korup dan tidak efisien yang menggerogoti kesejahteraan sosial. Masyarakat sipil adalah pelaku utama demokrasi dan perubahan sosial.
  4. Perencanaan terpusat mendatangkan dan menghasilkan birokasi yang menghalangi pertukaran barang antara para produsen. Pasar dan pertukaran pasar adalah mungkin dengan aturan-aturan yang terbatas, dapat membuat konsumsi yang lebih besar dan distribusi yang lebih efisien.
  5. Perjuangan kiri tradisional adalah korup dan menghasilkan rejim-rejim yang otori-ter yang kemudian mengsubordinasikan masyarakat sipil. Perjuangan lokal dengan mem-bawa isu lokal oleh organisasi lokal merupakan satu-satunya jalan bagi perjuangan demo-kratik untuk perubahan, dengan menggunakan petisi atau tekanan pada penguasa-pe-nguasa nasional dan internasional.
  6. Revolusi selalu berakhir dengan buruk atau tidak mungkin bisa berhasil, perubahan sosial akan memperkuat reaksi provokatif dari penguasa. Alternatifnya adalah dengan berjuang mengkonsolidasikan transisi demokratis untuk menyelamatkan proses pemilihan umum (jalan parlementarian).
  7. Solidaritas kelas adalah bagian dari ideologi-ideologi masa lalu, yang mencermin-kan politik dan realitas masa lalu. Kelas-kelas sudah tidak ada lagi. Bentuk yang ada ialah fragmen-fragmen penduduk daerah dimana grup-grup (identitas) tertentu dan daerah mengusahakan self-help (kemandirian) dan saling hubungan untuk survive berbasiskan pada kerja sama dengan pendukung dari luar. Solidaritas adalah sebuah fenomena persilangan kelas, adalah gerak/gestur kemanusianan semata.
  8. Perjuangan kelas dan konfrontasi tidak menghasilkan sesuatu yang nyata. Hanya akan menyebabkan kekalahan dan kegagalan. Lembaga-lembaga kerjasama internasi-onal dan lembaga milik pemerintah dengan proyek-proyeknya yang khusus akan menghasilkan kemajuan produksi.
  9. Anti-imperialisme juga merupakan milik masa lalu yang sudah waktunya mati. Dalam ekonomi global yang terjadi saat ini, tidaklah mungkin untuk menyerang pusat-pusat ekonomi dunia. Dunia sudah berkembang secara saling tergantung dan dalam dunia ini dibutuhkan kerja sama internasional yang lebih besar lagi dalam mentransfer kapital dan teknologi serta saling memahami antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin.
  10. Pimpinan-pimpinan dari organisasi-organisasi kerakyatan tidak boleh tertutup da-lam mengorganisir orang-orang miskin dan melakukan saling belajar serta tukar pengalaman. Mobilisasi internal harus berbasiskan pendanaan eksternal. Kaum profesional harus memproduksi desain-desain program dan mengamankan keuangan eksternal untuk dapat mengorganisir grup-grup lokal. Tanpa bantuan dari luar grup-grup lokal dan kaum profesional akan gagal dan hancur.


KRITIK TERHADAP IDEOLOGI POST-MARXIS

Jadi, demikianlah analisa, kritik, dan strategi pembangunan ideologi post-marxis, sebagai sebuah ideologi untuk menyerang diskusi-diskusi marxisme. Lebih dari itu, menurut mereka, marxisme adalah ideologi yang gagal mengidentifikasi krisis-krisis yang terjadi dalam kapitalisme. Stagnasi berkepanjangan (prolonged stagnation) dan kepanikan moneter yang terjadi secara periodik (periodic financial panic) serta kontradiksi sosial (in-equalities/ketidaksederajatan dan social polarisation/polarisasi sosial) pada tingkat nasional dan internasional yang bersentuhan dengan problem sosial daerah (lokal)menjadi fokus mereka. Contohnya, asal-usul neo-liberalisme merupakan produk dari konflik kelas. Sektor-sektor modal tertentu beraliansi dengan negara dan imperialisme -memukul kelas-kelas dalam massa rakyat dan memaksakan penerapan model-model mereka. Tentu saja perspektif yang non-kelas tidak akan mampu memblejeti asal usul dari ideologi post marxisme ini. Lebih dari itu, - seperti halnya dengan persoalan asal-usulnya, post marxisme, secara kasar membatasi dan merampas sumberdaya dan usaha kaum marxis dalam perjuangannya, - dengan meningkatkan tawaran-tawaran menarik yang memancing opurtunisme. Ini dapat berupa pendanaan, karir, dan semua hal yang bisa memecah kekuatan marxis, dengan pendekatan kebudayaan, sosial dan tentu saja ekonomi politik, baik di tingkat nasional maupun internasional. Asal usul sosiologis dari post-Marxisme tertanam pada saat-saat pergantian kekuasaan politik dari kelas pekerja ke ekspor kapital.

Mari kita berpindah dari pembicaraan mengenai sebuah pengetahuan sosiologis tentang kritik seputar ideologi post marxisme dan pandangan umum mereka yang tidak konsisten ke diskusi soal dalil-dalilnya yang lebih khusus. Diawali, pertama, dari dalil tentang "kegagalan sosialisme" dan "akhir dari masa ideologi-ideologi". Apa yang dimaksud dengan "kegagalan sosialisme"? Keruntuhan rezim komunis Uni Soviet dan Eropa Timur? Jawabnya adalah bahwa semua pengalaman di atas hanya merupakan bagian dari salah satu konsep sosialisme. Kemudian, walaupun tidak jelas, apa yang salah, apakah sistem politiknya atau sistem ekonominya? Pada pemilihan umum yang terakhir di Rusia, Polandia, Hungaria, dan banyak negara bekas Republik Soviet, menunjukkan bahwa mayoritas suara lebih memilih untuk kembali menggunakan kebijakan lama dalam bidang kesejahteraan sosial dan praktek ekonominya. Jika demikian yang menjadi kenyataan maka perkembangan di bekas negara-negara eks-Soviet tersebut berarti belum merupakan hasil akhir, seperti yang sering di gembar-gemborkan kaum kapitalis dan antek-anteknya di blok post-marxisme.

Kedua, jika kegagalan sosialisme yang dimaksudkan oleh post-marxisme tersebut merupakan kemunduran dari kekuatan-kekuatan kiri, maka kita musti benar-benar jernih melihat perbedaan antara "kegagalan" dengan "ketidak-cakapan internal" dalam praktek sosialis dan kekalahan politik serta militer oleh serangan agresor dari luar. Tidak ada yang mengatakan bahwa penghancuran oleh sistem demokrasi di Eropa oleh Hitler sebagai "kegagalan demokrasi ". Tindakan rejim teroris kapitalis dan atau dalam hal ini Amerika Serikat di Chile, Argentina, Bolivia, Uruguay, Republik Dominika, Guatemala, Nikaragua, El Salvador, Angola, Mozambik, Afganistan, Indonesia, Vietnam dan Filipina memainkan peran yang besar pada "kemunduran kiri revolusioner". Kekalahan militer tidak berarti kegagalan dalam sistem ekonomi dan tidak mencerminkan persoalan efektifitas serta pengalaman-pengalaman sosialis. Lebih dari itu, ketika kita menganalisa internal performance (kinerja internal) selama periode pemerintahan sosialis yang stabil atau pemerintahan yang berwatak kerakyatan, dengan berbagai indikator sosial, menunjukkan hasil yang lebih baik daripada bentuk-bentuk yang muncul dalam sistem yang kemudian. Contohnya di Chile, partisipasi sosial, kesehatan, pendidikan, dan pemerataan pertumbuhan jauh lebih baik di bawah pemerintahan Allende, dibandingkan dengan sistem yang datang kemudian di bawah Pinochet. Indikator yang sama terlihat dalam pengalaman di Nicaragua - menunjukkan bahwa di bawah Sandinista keadaan lebih baik ketimbang periode yang dipimpin oleh rejim Chamoro kemudian. Reformasi agraria dan kebijakan HAM yang dilakukan oleh pemerintahan Arbenz jauh lebih baik ketimbang kebijakan konsentrasi tanah yang membunuh 150.000 orang oleh pemerintahan yang di-install oleh CIA.

Saat ini, memang benar bahwa pemerintahan Neo-liberalis dan pemerintahan marxis, tidak sedang berkuasa. Sangat sulit melihat kepemimpinan kaum kiri revolusioner di belahan bumi barat (Eropa dan Amerika) - seperti memimpin dalam aksi massa besar dan menantang rejim serta kebijakan neo-liberal. Di Paraguay, Bolivia dan Uruguay, berhasil di lancarkan pemogokan umum besar-besaran; pengaruh gerakan kaum tani yang luas dan besar serta perjuangan bersenjata oleh kaum Indian di Mexiko; gerakan kaum buruh tani tidak bertanah di Brazil - semua itu mencerminkan pengaruh yang kuat dari kekuatan-kekuatan marxis.

Sosialisme di luar blok komunis secara esensial menggambarkan demokasi yang nyata. Kekuatan populis mendapatkan dukungan luas karena ia mewakili kepentingan rakyat yang bebas memilih. Inilah yang menyebabkan kebingungan kaum post-marxis, antara praktek pengalaman komunisme di Soviet dengan praktek pengalaman gerakan revolusioner demokratik-sosialis di grassroot Amerika Latin. Mereka dibingungkan oleh kekalahan antara kekalahan militer dengan kegagalan politik kiri. Mereka menerima dan memamah biak penggabungan neo-liberalisme terhadap dua konsep yang saling bertentangan tersebut. Akhirnya, dalam kasus Eropa Timur, mereka gagal melihat perubahan dan dinamika sifat dari komunisme itu sendiri. Pertumbuhan popularitas dari sebuah sintesa sosialisme yang terbaru terhadap kepemilikan sosial, program-program kesejahteraan, reformasi agraria dan dewan-dewan demokratik, yang kesemuanya itu berlandaskan pada sebuah perkembangan gerakan sosial-politik yang baru.

Dalam hal ini pandangan post marxis tentang "akhir dari masa ideologi-ieologi", bukan hanya tidak konsisten dengan pernyataan ideologis mereka, tapi juga terhadap kelanjutan perdebatan ideologis antara yang bentukan marxime lama dan yang terbaru berhadapan dengan neo-liberalisme dan keturunan anak cucunya: Post-marxisme!

PEMBUBARAN KELAS-KELAS DAN MUNCULNYA IDENTITAS

Post-Marxis juga menyerang penggunaan pendekatan analisa kelas dari berbagai perspektif. Di satu pihak mereka mengklaim bahwa pendekatan tersebut mengaburkan kesejajaran atau yang lebih penting adalah identitas budaya (gender dan etnik). Mereka menyatakan bahwa pendekatan dengan analisa kelas adalah sebuah reduksi ekonomistik dan gagal menjelaskan perbedaan-perbedaan gender maupun etnik di dalam kelas-kelas. Mereka kemudian lebih jauh berargumen bahwa justru perbedaan-perbedaan inilah yang menentukan keaslian politik kontemporer.

Serangan mereka yang kedua terhadap pandangan analisa kelas, adalah bahwa analisa kelas hanya merupakan desain dari konstruksi intelektual - hanya merupakan sebuah gejala/fenomena subyektif yang kuat menentukan secara kultural saja. Sebenarnya tidak ada "kepentingan kelas yang objektif" yang membagi masyarakat - karena "kepentingan" tersebut adalah semata-mata subyektif dan setiap budaya menentukan pilihan-pilihan individual.

Serangan mereka yang ketiga adalah argumentasi bahwa telah terjadi transformasi yang cepat dalam ekonomi dan masyarakat yang telah melenyapkan perbedaan kelas yang lama. Argumentasi mereka bahwa , - Era masyarakat Post Industrial, - menunjukkan bahwa sumber kekuasaan ada pada sistem informasi yang terbaru, teknologi terbaru dan pada mereka yang mengontrol dan mengatur semua itu. Masyarakat, menurut pandangan mereka, sedang berubah menuju masyarakat baru dimana buruh industri akan menghilang menuju dua arah yaitu: naik menjadi "new middle class/kelas menengah baru" yang berteknologi tinggi, - atau merosot ke bawah menjadi "under class/kelas bawah".

Marxisme tidak pernah menolak tentang pentingnya pemilahan ras, gender dan etnik di dalam pendekatan analisa kelas-kelas. Apa yang diinginkan oleh post marxisme adalah penekanan pada sistem sosial yang lebih luas yang menghasilkan perbedaan-perbedaan dan keharusan melakukan penggabungan kekuatan antar kelas-kelas untuk menghapuskan ketidak seimbangan dalam kerja, lingkungan dan keluarga. Namun apa yang lebih mendapatkan penekanan oleh post-marxisme adalah bahwa persoalan ketidak adilan terhadap gender, ras, dan etnik bisa dianalisa dan dihapus di luar pendekatan analisa kelas. Seorang perempuan tuan tanah dan pembantu-pembantunya memiliki "identitas esensial", seperti halnya seorang perempuan tani yang bekerja dengan upah rendah; seorang birokrat Indian dari pemerintahan neo-liberal memiliki sebuah "identitas "yang sama dengan petani perempuan Indian yang kehilangan tanah karena politik ekonomi pasar bebas. Contohnya seperti Bolivia yang memiliki seorang Wakil Presiden berasal dari etnik Indian yang juga melakukan pemenjaraan massal terhadapa petani coklat Indian.

Politik identitas bagi sementara kelompok mungkin memang bisa menjadi sebuah penyadaran bagi salah satu bentuk penindasan dan dapat menggerakkan mereka. Namun dengan demikian pemahaman ini akan menjadi pemenjaraan kesadaran (ras etnik dan gender) yang mengisolasinya dari setiap bentuk penindasan yang lain di masya-rakat, jika tidak segera berubah, mencapai kesadaran penindasan secara lebih luas dan menghadapi sistem yang menindas masyarakat secara luas. Apa lagi jika tidak segera masuk pada pendekatan analisa kelas dari struktur kekuasaan yang lebih luas dan me-nyebabkan ketidak adilan secara umum dan khusus.

Politik identitas mengisolasi kelompok-kelompok untuk saling bersaing dan tidak dapat berubah secara lebih luas dalam arti ekonomi dan politik yang mencakup kepentingan orang miskin, buruh dan tani. Sedangkan politik kelas adalah benteng untuk memerangi politik identitas dan mentransformasikan semua lembaga yang mempertahankan ketidak adilan kelas dan lainnya (gender, etnik, dan ras).

Kelas-kelas tidak datang secara subyektif, namun merupakan hasil pengorganisiran kelas kapitalis dalam rangka membangun nilai-nilai mereka. Dalil bahwa kelas merupakan dalil-dalil subyektif adalah tergantung atas waktu, tempat, dan persepsi serta kesadaran akan kelas itu sendiri. Hal ini juga tergantung pada faktor sosial dan budaya. Kesadaran kelas adalah bangunan sosial yang ada sepanjang sejarah. Semen-tara bentuk-bentuk sosial dan ekspresi kesadaran kelas adalah fenomena yang muncul berulang-ulang sepanjang sejarah di hampir semua bagian dunia, walaupun ia tertutup oleh bentuk-bentuk lain dari kesadaran dalam momentum-momentum yang berbeda (ras, gender, nasionalisme) atau berupa kombinasi (nasionalisme dan kesadaran kelas)

Jelas ada beberapa perubahan besar dalam struktur kelas, tapi tidak seperti yang dikemukakan oleh post-marxisme. Perubahan-perubahan besar justru telah semakin memperkuat dan memperjelas perbedaan kelas dan penindasan kelas, walaupun bentuk dan syarat-syarat dari yang ditindas dan yang menindas telah berubah. Sekarang lebih banyak buruh kontrak dari sebelumnya. Lebih banyak lagi buruh yang bekerja di sektor informal (disebut unregulated labor/buruh sektor informal karena tidak di bawah perlindungan dan aturan yang berlaku) dari pada sebelumnya. Persoalan sektor informal ini bukan berarti sistem itu merupakan transendensi dari bentukan lama kapitalisme, namun justru kembali ke bentuk penindasan buruh di abad 19. Analisa baru ini berangkat dari pola kapitalisme setelah negara kesejahteraan rakyat (welfare populist state) ter-gusur. Ini artinya bahwa peran negara dan partai yang menjadi perantara antara modal dan tenaga kerja telah digantikan oleh institusi negara secara lebih jelas dan langsung berhubungan dengan kelas kapitalis yang dominan berkuasa. Neo-liberalisme tidak menjadi perantara kelas yang menguasai negara. Saat ini model akumulasi Neo-liberalisme lebih banyak tergantung secara langsung pada kontrol negara secara terpu-sat berhubungan sejajar dengan bank-bank internasional untuk mengimplementasikan pembayaran utang dan untuk mengekspor hasil sektor-sektor ekonomi dengan pinjaman mata uang asing. Garis vertikalnya berhubungan dengan masyarakat sebagai subyek dan hubungan yang terutama melalui aparatus negara yang represif dan para kaki tangan LSM yang takut pada ledakan sosial.

Tergusurnya welfare state (negara kesejahteraan) bermakna polarisasi dalam struktur sosial: antara pekerja-pekerja sektor publik yang dibayar rendah di bidang kesehatan, pendidikan, keamanan sosial di satu pihak, dan dipihak lain adalah kaum profesional yang mendapatkan upah lebih baik dan berhubungan dengan perusahaan multi nasional (MNC), LSM dan Lembaga-lembaga Dana dari luar, yang juga berhubungan dengan pasar dunia dan pusat-pusat kekuasaan .

Perjuangan sekarang tidak hanya antara kelas-kelas di pabrik-pabrik tapi antara negara berhadapan dengan kelas-kelas yang mengakar di jalanan dan pasar yang telah digantikan oleh buruh-buruh yang terdesak untuk menghasilkan produksi dan menjualnya untuk menutupi biaya hidup. Masuknya kedalam pasar dunia oleh eksportir-eksportir elit besar dan komprador menengah serta kecil ( barang elektronik, parawisata dari hotel dan penginapan) memiliki pasangannya dalam disintegrasi ekonomi dalam negeri: industri lokal pertanian kecil bersamaan dengan pindahnya tenaga produktif ke kota dan luar negeri.

Impor barang-barang luks untuk kelas menengah atas adalah berdasarkan ekspor tenaga kerja kaum miskin yang dikirim ke luar negeri. Eksploitasinya berbentuk pemiskinan dalam negeri, terutama pada kaum tani yang akhirnya dipaksa migrasi ke kota dan ke luar negeri. Pendapatan yang dibayar dari menjual buruh ke luar negeri menghasilkan mata uang keras untuk mendanai impor dan seluruh proyek infrastruktur neo-liberal serta untuk mempromosikan ekspor domestik dan bisnis pariwisata secara merajalela. Rantai penghisapan dan penindasan semakin melingkar namun tetap terbatas seputar hubungan buruh-modal.

Dalam era neo-liberalisme, perjuangan untuk membangun kembali bangsa, pasar nasional, produk nasional, dan pertukaran mata uang, sekali lagi terulang dalam sejarah sebagai hukum permintaan, yaitu pertumbuhan deregulasi tenaga kerja (secara informal) mensyaratkan sebuah investasi publik yang besar, kuat dan berpusat untuk meningkatkan ketenagakerjaan yang formal dengan suatu syarat hidup sosial. Dengan kata lain, akan ada kesamaan identitas kelas yang membentuk benteng untuk pengorganisiran perjuangan kaum miskin.

Kesimpulannya, berlawanan dengan argumentasi post-marxisme, transformasi kapital membuat analisa kelas semakin relevan dan nyata. Pertumbuhan teknologi telah membangkitkan perbedan kelas, bukannya menghapuskannya. Buruh-buruh indrustri micro-chip dan sejenisnya yang menghasilkan elemen-elemen micro-chip yang ada sekarang, belum menggeser posisi kaum buruh apa lagi mengurangi barisan mereka. Hal tersebut belum menggantikan aktivitas dan model produksi di dalam proses penindasan yang berkelanjutan. Struktur kelas baru sejauh ini dapat dilihat sebagai kombinasi teknologi-teknologi baru untuk lebih mengontrol bentuk-bentuk eksploitasi. Otomatisasi dalam beberapa sektor meningkatkan jam kerja; kamera televisi meningkatkan pengawasan buruh, sementara dilakukan pengurangan staf administrasi; suatu lingkaran kerja berkualitas, dimana buruh menekan buruh, meningkatkan self-exploitation (eksploitasi diri sendiri) tanpa meningkatkan upah dan hak-haknya. Revolusi teknologi, dipertajam oleh struktur kelas neo liberalisme yang sangat anti revolusi. Komputer akan mengontrol harga pertanian dan volume pestisida, Tapi buruh yang menyemprotkan pupuk dan anti hama tetap mendapatkan bayaran rendah. Jaringan informasi akan memperkuat ekonomi informal yang dilakukan dari rumah dengan menggunakan jaringan TV, periklanan dan telepon.

Kunci untuk memahami proses dan perkembangan teknologi berhadapan dengan tenaga kerja yang dikeluarkan oleh buruh adalah dengan menggunakan analisa kelas yang di dalamnya ada persoalan berbagai macam: gender, ras, nasionalisme, etnik dan lainnya.

NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL

Post Marxime menggambarkan satu sisi saja dari negara. Negara digambarkan sebagai satu kubangan birokrasi yang tidak efisien yang merampok harta publik. Juga membiarkan rakyat tetap miskin dan ekonomi menjadi bangkrut. Dalam pengertian politik, negara adalah sumber hukum otoritarian yang menghambat masyarakat melatih demokrasi dan kebebasan pasar. Di sisi lain post-marxisme berargumentasi bahwa masyarakat sipil adalah sumber dari kebebasan, gerakan sosial dan kewarganegaraan.

KEKUASAAN NEGARA YANG KORUP

Salah satu kritik post-marxime adalah bahwa kekuasaan negara pastilah korup dan perjuangan menentang kekuasan tersebut adalah dosa. Mereka berpendapat bahwa ini terjadi karena negara berjarak dengan warga negara. Penguasa menjadi otonom dan sewenang-wenang, melupakan tujuan yang sesungguhnya dan memaksakan kehendak mereka sendiri. Dalam sejarah, banyak terjadi rakyat yang merebut kekuasaan menjadi tiran, tapi ada juga kasus tertentu yang memimpin gerakan sosial memiliki efek eman-sipasi. Penghancuran perbudakan dan penumbangan monarki absolut adalah dua contoh. Jadi kekuasaan dalam negara memiliki dua arti yang tergantung pada konteks sejarahnya. Dalam beberapa kasus, gerakan lokal berhasil memobilisir masyarakat dan memperoleh perubahan kondisi dengan segera. Namun ada juga kasus dimana keutuhan ekonomi politik makro telah menekan usaha-usaha lokal tersebut. Saat ini kebijakan penyesuaian struktural di lingkup nasional maupun di internasional telah meningkatkan jumlah kemiskinan dan pengangguran. Menghancurkan sumber daya lokal dan mendesak rakyat lokal untuk memasuki dunia kriminal. Dialektika antara negara dan kekuasan lokal yang berjalan mendorong inisiatif lokal dan merubah ketergantungan kelas penguasa termanifestasikan dalam dua level. Ada beberapa kasus dari beberapa pemerintahan daerah yang progresif menjadi rusak karena rejim reaksioner di pemerintahan nasional memotong pendanaan bagi mereka. Di satu sisi pemerintahan lokal yang progresif tersebut sangat membantu organisasi lingkungan lokal seperti yang dilakukan oleh seorang sosialis yang menjadi kepala pemerintahan di Montevideo-Uruguai atau seorang kepala pemerintahan yang beroreintasi kiri di Porte Alegre-Brazil.

Post marxis yang mengecam pemerintahan lokal atau negara sesungguhnya tidak berbasiskan pada pengalaman sejarah. Hanya ingin memberi legitimasi terhadap peran NGO sebagai mediator antara organisasi-organisasi lokal dengan pendana asing neo-liberal (IMF/Bank Dunia, Eropa atau AS) dan pada rejim-rejim yang pro terhadap pasar bebas. Dalam rangka melegitimasi peran mereka, NGO-NGO profesional yang berpandangan post marxist, sebagai "agen demokrasi di grass root", selalu meremehkan dan menghina kaum kiri yang berada di puncak kekusaan negara. Dalam proses berikutnya mereka menambahkan aktivitas neo-liberal dengan menekan dan memukul jaringan antara perjuangan lokal dan organisasi-organisasi serta gerakan politik internasional dan nasional. Penekanan pada "aktivitas lokal" mengamankan hak keadilan rejim-rejim neo-liberal, seperti dengan mengijinkan dukungan asing dan nasional untuk mendominasi kebijakan sosio-ekonomi mikro, dan memakai semua sumber daya negara atas nama ekspor kapitalis dan kepentingan finansial.

Kaum post-marxis, selayaknya seorang manager NGO, menjadi sangat cakap dalam mendesain proyek dan menghubungkan "identitas " baru dan jargon globalisasi ke dalam gerakan popular. Mereka berbicara dan menulis tentang kerja sama internasional dan usaha mandiri mikro yang menciptakan benang ideologis neo-liberal dan sementara itu juga mendesak masyarakat agar bergantung pada kucuran donor asing dan agenda sosio-ekonomi neo liberal mereka. Tidak mengejutkan, setelah dekade aktivitas NGO, yang menyebabkan depolitisasi akibat dari ulah kaum post marxis, sekaligus menye-babkan de-radikalisasi di seluruh kehidupan sisoal: perempuan, lingkungan, dan organsisi pemuda. Kasus-kasus di Peru dan Chile adalah klasik: dimana NGO kuat berdiri maka merupakan kemunduran gerakan sosial radikal.

Perjuangan lokal untuk memenangkan isu mendesak adalah benih yang baik bagi bangkitnya sebuah gerakan yang potensial untuk menjadi lebih radikal. Pertanyaannya adalah tentang arah yang diambil: apakah mereka menjadi sebuah gerakan yang berusaha untuk memenangkan tuntutan yang lebih besar pada sistim sosial yang berhubungan dengan kekuatan lokal dalam rangka memukul negara dan pendukungnya ataukah gerakan itu hanya menjadi sebuah aktivitas untuk mencari donor dana dari luar negeri. Ideologi post-marxisme mempromosikan arah yang terakhir, sedangkan marxis-me konsisten dengan arah yang pertama.

REVOLUSI SELALU BERAKHIR DENGAN BURUK

Bagi kaum post marxisme, revolusi tidak jauh berbeda dengan persoalan kegagalan sosialisme. Mereka menggembar-gemborkan kemunduran kaum kiri progresif-revolusioner, kemenangan kapitalisme di timur, krisis dalam marxisme, kekuatan Amerika, kudeta dan bantuan dari militer reaksioner. Semua usaha dilakukan untuk memukul kaum kiri progresif-revolusioner. Tidak bosan-bosannya mereka mempropagandakan kebutuhan untuk bekerja di dalam pasar bebas yang dibuat oleh IMF dan Bank Dunia. Semua ini yang disebut pragmatisme. Post-marxisme berperan penting secara ideologis dalam mempromosikan dan mempertahankan apa yang disebut dengan transisi elektoral yaitu lewat Pemilu dan peran militer, di mana perubahan sosial diawali dari sistem Pemilu

Kebanyakan dari argumentasi post-marxisme didasari pada statistik dan penelitian selektif yang menghasilkan sebuah kesimpulan untuk menang dalam pemilu yang menuju ke perubahan sosial ala neo liberal. Keputusan untuk menjalankan revolusi adalah ketinggalan jaman, mereka memfokuskan semua usaha untuk menang dalam proses Pemilu dan bukan pada pemogokan umum, protes massa atau pemberontakan. Yang akan memobilisir sejumlah massa yang besar-besaran. Mereka mensyukuri kematian komunisme di akhir 1980 dan memaki kebangkitannya kembali di pertengahan 1990. Mereka menggambarkan desakan militer dalam Pemilu tanpa mau menghitung tantangan pada militer dari gerilyawan Zapatista di Caracas, Mexico dan pemogokan umum di Bolivia.

Dengan kata lain, ada keyakinan yang berlebihan akan keberhasilan perjuangan diawali di tingkat lokal maupun sektoral dalam kerangka Pemilu di tengah eksistensi militer dan selanjutnya diharapkan mampu mendorong perubahan, sebuah harapan yang dibangun atas dasar kegagalan dan ketidak mampuan skenario Pemilu untuk memenuhi tuntutan pokok dan kebutuhan rakyat. Pada kenyataanya kaum oportunis ini gagal menghentikan kekejaman militer, membayar kembali gaji para pegawai negeri di Argentina atau mengakhiri bencana yang dialami oleh para petani coklat di Bolivia.

Kaum oportunis post-marxis justru menimbulkan banyak masalah (part of the problem) daripada menciptakan jalan keluar yang baru (part of solution). Sudah kurang lebih 15 tahun sejak negosiasi ke arah transisi dimulai dan semakin lama proses itu berjalan, maka kaum Post-Marxis selalu mengambil kebijakan neo liberal dan mempertahankan kebijakan pasar bebas mereka.Kaum oportunis itu tidak mampu secara efektif untuk menghalangi dampak sosial akibat pasar bebas yang menyengsarakan rakyat, justru mereka yang semakin didesakkan oleh neo liberalisme untuk menerapkan kebijakan baru dan jumlahnya semakin bertambah setiap tahun, kebijakan baru yang semakin mencekik rakyat dalam rangka mempertahanakn kelangsungan hidup kelas penguasa. Kaum post Marxis telah bergerak dari sikap mereka yang pragmatik dalam mengkritik kebijakan neo liberal ke sikap menonjolkan diri sebagai manajer proyek neo- liberal yang efisien dan jujur, dan mereka mampu menjamin kepercayaan para investor dan memadamkan kerusuhan sosial.

Pada waktu yang sama, pragmatisme dari kaum Post Marxis seakan berjalan seiring dengan kencangnya gerak laju neo-liberalisme; dekade 90 an telah menjadi saksi "radikalisme" kebijakan neo liberal, di mana mereka mendesain krisis berkepanjangan terhadap penduduk pribumi dengan cara menawarkan investasi yang mengutungkan dan kesempatan spekulasi kepada bank-bank yang beroperasi secara internasional dan perusahan perusahaan multinasional lainnya. Neo liberalisme telah menciptakan polarisasi struktur kelas yang justru semakin dekat ke paradigma Marxis dibanding pandangan Post-Marxis sendiri. Struktur kelas di Amerika Latin komtemporer jauh lebih jelas, jauh lebih berhubungan dengan kelas politik dan negara, jauh lebih positif dibanding masa-masa sebelumnya. Dalam kondisi seperti ini politik ke arah gerakan revolusioner jauh lebih relevan dibandingkan tawaran pragmatis dari kaum post Marxis.

SOLIDARITAS KELAS DAN SOLIDARITAS NEGARA PENDONOR


Kata solidaritas telah disalahgunakan ke berbagai macam konteks yang tidak mempunyai arti sama sekali. Solidaritas bagi kaum Post Marxis, solidaritas adalah termasuk bantuan luar negri yang disalurkan kepada setiap kelompok yang dianggap berpotensi untuk berkembang. Atau disisi lain, pola pendidikan yang dikemas secara populer ataupun penelitian- penelitian ilmiahyang dilakukan oleh para kaum intelektual professional dengan menjadikan kaum miskin sebagai obyek, itupun dianggap sebagai solidaritas. Dalam beberapa hal, apa yang dilakukan oleh kaum oportunis dewasa ini melalui program bantuan (aid) dan pelatihan (training) yang mereka berikan merupakan ungkapan belas kasihan yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para misionaris Kristen ratusan tahun yang lalu.

Kaum post marxis mencoba menekankan pentingnya "kemandirian" (self-help) dalam rangka menyerang kelompok yang mereka anggap tergantung pada negara dan terperangkap dalam hegemoni negara. Jadi mereka justru berlomba-lomba menggarap kelompok-kelompok yang menjadi korban dari proyek neo-liberalisme, dan mereka bisa menjadi "santa klaus" seperti itu karena mereka menerima subsidi yang cukup besar dari rekan-rekan mereka di Eropa dan Amerika Serikat. Konsep "kemandirian" mengede-pankan ide untuk mengganti pegawai yang digaji dengan tenaga sukarelawan ( volunteer) ataupunprofesional bebas yang dikontrak untuk jangka pendek dalam proyek tertentu. Dasar pikiran dalam pandangan kaum Post-Marxis adalah mengubah "solidaritas" menjadi kolaborasi dan subordinasi ke arah ekonomi makro neo liberalisme dengan fokus pandang yang dialihkan dari kelas berada ke arah kaum miskin yang tertindas.

Sebaliknya konsep kaum Marxis tentang Solidaritas kelas adalah solidaritas di antara kaum sekelas dan solidaritas dari kaum tertindas (baik wanita, maupun kaum kulit berwarna) melawan penindas dari dalam maupun luar negeri. Fokus utamanya bukanlah pada donasi yang justru memecah belah kelas dan menjinakkan sekelompok orang untuk waktu tertentu. Fokus dari kaum Marxis terhadap solidaritas adalah pada aksi bersama dari anggota dari kelas yang sama untuk membagi kesulitan ekonomi mereka secara bersama-sama dan berjuang untuk perbaikan hidup semuanya.

Solidaritas kaum Marxis ini melibatkan kaum intelektual yang menulis dan berbicara atas nama gerakan sosial dalam konteks perjuangan, suka duka bersama dan menghadapi konsekuensi politik yang sama. Bandingkan dengan kaum post marxis yang membenamkan diri mereka dalam institusi internasional, seminar-seminar akademik, ya-yasan-yayasan internasional, konferensi internasional dan laporan-laporan yang biro-kratis. Mereka menulis karya mereka dalam bahasa post-modernis yang cuma bisa dimengerti oleh pengarangnya sendiri.

Bagi kaum Marxis, solidaritas adalah pembagian resiko kepada seluruh orang yang terlibat dalam gerakan, dan tidak hanya dengan menjadi komentator yang duduk di belakang panggung yang hanya bisa menanyakan macam macam tapi tidak pernah membela sesuatu apapun. Bagi kaum post Marxis, proyek utama mereka adalah mencari dana bantuan internasional. Sedangkan proyek utama kaum Marxis adalah perjuangan politik dan pendidikan propaganda untuk memperbaiki kesadaran sosial. "Solidaritas" bagi kaum post Marxis adalah terpisah dari kerangka utama semangat pembebasan kaum tertindas, tujuan mereka hanyalah membawa orang-orang hadir di acara training dan seminar mereka. Bagi kaum Marxis, perjuangan bersama harus mempunyai tujuan ke arah masyarakat yang demokratis dan kolektif.

PERJUANGAN KELAS DAN KERJA SAMA

Berulang kali kaum Post Marxis menulis tentang konsep "kerja sama" bagi semua orang, tidak peduli di mana pun mereka berada tanpa memperhitungkan besarnya biaya sosial yang akan dihabiskan dalam kerja sama di tengah rejim neo-liberal dan dominasi lemba-ga donor internasional. Mereka melihat perjuangan kelas hanyalah sebagai nostalgia masa lalu yang sudah tidak relevan lagi. Mereka mengatakan sudah muak dengan politik kuno, ideologi dan para politikus.

Dilihat dari kulit luarnya mereka punya pendapat yang benar, mereka bisa dianggap benar karena mereka kaum post Marxis berhasil menyembunyikan peran mereka sebagai mediator ataupun calo dari lembaga donor internasional dan berlomba-lomba untuk memajukan proposal yang bisa diterima oleh pendana mereka di luar negeri. Para pebisnis "yayasan kemanusiaan" di luar negeri yang menjadi mitra mereka, sebenarnya justru berhubungan dengan para calo neo-liberal; mereka memang memberikan training kepada sejumlah wanita miskin tapi untuk dipekerjakan pada perusahaan skala kecil yang mereka dirikan sendiri, yang mana perusahaan kecil itu merupakan sub-kontraktor dari perusahaan eksportir yang lebih besar.

Politik dari para kaum post Marxis adalah politik "komprador", mereka tidak menghasilkan produk apapun yang bisa dimasukkan dalam produksi nasional, justru mereka mencoba menghubungankan lembaga donor mereka dengan buruh-buruh secara langsung, untuk melicinkan lajunya neo-liberalisme. Dalam hal ini, kaum post Marxis yang menjadi manajer sejumlah LSM adalah aktor politik paling utama atas training, workshop yang tidak memberikan kontribusi ekonomi apapun, baik menyumbang untuk Produk Nasional Bruto (GNP) maupun mengurangi angka kemiskinan. Kegiatan mereka hanya bisa memecah belah rakyat dari perjuangan kelas ke arah gerakan yang moderat dan tidak efektif, sebuah bentuk gerakan yang berkolaborasi dengan para penindas.

Dalam perspektif Marxis, perjuangan kelas dan konfrontasi terhadap borjuasi harus dibangun atas dasar kesadaran adanya pembagian kelas dalam masyarakat : antara orang-orang yang sibuk bermain tingkat keuntungan saham, nilai suku bunga, nilai sewa ataupun jumlah pajak dan orang-orang yang harus berjuang untuk meningkatkan gaji mereka, investasi produksi dan jaminan sosial. Pandangan post Marxis telah membuah-kan hasil dan bisa kita lihat di mana-mana seperti konsentrasi pendapatan di tangan segelintir orang dan meningkatnya jurang perbedaan kaya-miskin semakin besar dibanding sepuluh tahun yang lalu, semua itu terjadi setelah mereka sibuk dengan konsep " kerjasama" dan "kemandirian" ataupun "usaha kecil". Saat ini bank seperti Inter Ameri-can Development Bank (IDB) memberi dana kepada perusahaan ekspor agrobisnis yang menindas dan meracuni jutaan petani dan buruh di perkebunan besar, di sisi lain bank ini justru memberikan pendanaan kepadaproyek-proyek LSM yang memposisikan dirinya membela para petani dan buruh yang tertindas tersebut. Justru peran kaum Post Marxis dengan LSM telah menetralisir perjuangan politik di tingkatan massa dalam melawan kebijakan neo liberal yang dilancarkan oleh para petinggi dan politikus.

Ideologi "cooperation" (kerja sama/gotong royong) justru dipakai untuk menghubungkan kaum miskin dengan kaum Post Marxis sebagai fasilitator menuju para pejabat di tingkat atas yang merupakan arstitek neo-liberalisme. Secara intelektual, kita bisa mengkategorikan kaum post Marxis sebagai polisi intelektual yang bisa menentukan proyek penelitian mana yang bisa diterima, membagikan dana untuk proyek penelitian tertentu, menyaring topik penelitian dari diskusi tentang perjuangan kelas dan perspektif perjuangan politik, dengan alasan yang dibuat-buat. Kaum Marxis selalu disingkirkan oleh mereka dalamkonferensi ataupun seminar-seminar akademik dengan alasan forum akademik yang obyektif tidak bisa menerima para ideolog, sementara kaum post marxis sendiri ditempatkan sebagai akademisi ataupun peneliti sosial yang independen.

Kontrol mereka atas fasilitas intelektual, publikasi dan penerbitan, seminar-seminar dan konferensi serta pendanaan penelitian-penelitian telah memberikan kaum post-marxis kekuatan yang berarti, akan tetapi di sisi lain mereka justru jadi tergantung pada pendana mereka, dan berusaha sekeras mungkin menghindari konflik dengan funding agencies mereka.

Kritik-kritik yang dilancarkan oleh intelektual Marxis memiliki keunggulan tersendiri dalam menjelaskan dinamika dan perkembangan sosial. Secara taktis kaum marxis memang lemah, tapi secara strategis mereka jauh lebih kuat dibandingkan kaum post marxis.

APAKAH GERAKAN ANTI IMPERIALISME SUDAH TAMAT?

Dalam beberapa tahun terakhir gerakan anti imperialisme sudah menghilang dari panggung politik kaum marxis. Para bekas gerilyawan di Amerika Tengah telah berubah menjadi politikus yang hanya sibuk memikirkan Pemilu, dan para manajer LSM masih terus sibuk bicara di forum internasional tentang konsep mereka. Orang-orang miskin di Amerika Latin semakin dibebani hutang yang disalurkan oleh bank-bank Amerika, Jepang dan Uni-Eropa. Perusahaan-perusahaan milik negara, fasilitas umum, bank-bank dan kekayaan alam sudah terjual dengan harga murah ke tangan perusahaan Amerika, Eropa dan multinasional lainnya. Pada saat yang sama muncul pula generasi jutawan baru di Amerika Latin yang mempunyai simpanan di bank-bank Amerika dan Eropa. Amerika-Serikat memiliki lebih banyak penasehat militer untuk daerah Amerika Latin, petugas anti-narkotik, ataupun polisi federal yang ditujukan langsung untuk mengawasi Amerika Latin. Menurut cerita dari beberapa orang bekas Sandinista dan bekas Farabundistas bahwa semangat anti imperialisme telah luntur sejak perang dingin berakhir. Masalahnya bukan karena investasi asing maupun bantuan asing tidak mengalir lagi, tapi karena mereka gagal memahami bahwa investasi asing tersebut justru mengurangi upah buruh, menghancurkan sistem jaminan sosial dan merubah Amerika Latin menjadi ladang pertanian raksasa, lahan pertambangan raksasa dan daerah pasar bebas yang tidak memperdulikan kedaulatan bangsa, hak azasi manusia dan nasib jutaan orang.

Kaum Marxis menekankan bahwa eksploitasi oleh kaum imperialis berakar dari hubungan produksi yang berkaitan dengan hubungan multilateral antara negara imperialis dengan negara kapitalis yang tergantung pada mereka. Ambruknya Uni Soviet telah melempangkan jalan bagi kaum imperialis untuk melanjutkan eksploitasi mereka. Kaum Post Marxis dan bekas Marxis yang percaya bahwa dunia yang damai akan tercipta dengan "cooperation" tidak mampu mengerti akan intervensi Amerika Serikat di Panama, Irak, Somalia dan beberapa negara lainnya. Dinamika imperialisme justru lebih berhubungan dengan dinamika internal modal sendiri dibanding dengan dinamika persaingan mereka dengan Uni Soviet. Delapan tahun sejak runtuhnya Uni Soviet, perekonomian Amerika Latin telah kembali seperti saat mereka masih dijajah ratusan tahun yang lalu.

Perjuangan anti imperialisme dewasa ini perlu melibatkan rekonstruksi tentang konsep bangsa, pasar domestik, dan produksi ekonomis dan hubungan kelas buruh dengan produksi sosial dan konsumsi.

DUA PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL: ORGANISASI KELAS DAN LSM

Untuk meningkatkan mutu perjuangan anti imperialisme dan perjuangan melawan komprador baru dari dalam negeri, kita harus melampaui perdebatan ideologis dan kultural dalam tubuh kaum post Marxis sendiri dan juga gerakan rakyat.

Dewasa ini neo-liberalisme beroperasi di dua lini yaitu ekonomi dan budaya politik, dan neo-liberalisme juga beroperasi di dua level yaitu tingkatan rejim dan tingkatan rakyat kelas bawah. Pada tingkatan atas neo-liberalisme, kebijakan neo-liberaldikemas dan diterapkan melalui agen-agen yang sudah mapan seperti Bank Dunia, IMF dengan bekerja sama dengan pemerintahan di Washington, Bonn dan Tokyo dan mengikut- sertakan rejim-rejim neo-liberal dan para eksportir besar, konglomerat besar dan bankir bankir ternama.

Pada awal tahun 80-an, beberapa pihak rejim neo-liberal mulai menyadari bahwa kebijakan mereka telah menciptakan polarisasi di kalangan massa dan menciptakan keresahan sosial yang berkepanjangan. Rejim neo-liberal pun mulai membiayai dan mempromosikan strategi paralel yang berasal dari arus bawah, promosi organisasi grass root, dan organisasi dengan ideologi anti State (negara) serta organisasi ini dipakai untuk masuk ke daerah-daerah potensial konflik, dengan tujuan menciptakan sosok "malaikat penyelamat". Jelas bahwa organisasi tersebut sangat tergantung pada sumber dana dari rejim neo-liberal dan akan terlibat secara langsung dalam persaingan dengan gerakan sosio politik lainnya untuk merebut kepemimpinan di tingkatan massa dan aktivis lokal. Pada akhir tahun 1990-an organisasi seperti ini digambarkan sebagai "ornop" (organisasi non pemerintah), berjumlah ribuan dan menerima uang sekitar 4 milyar dollar AS dari berbagai penjuru dunia.

Banyak orang yang bingung untuk memahami karakter NGO/LSM. Untuk memahami ini kita harus melihat ke belakang dari sejarah mereka di tahun 70-an ketika pemerintahan otoriter masih bercokol dengan kuat. Pada masa kediktatoran mereka sibuk memberikan bantuan kemanusiaan untuk menolong korban penindasan rejim militer dan mengecam pelanggaran hak asasi manusia. Pada masa ini LSM masih dipandang sebagai mitra bagi kekuatan kiri revolusioner, bahkan LSM pun dikategorikan sebagai kelompok progresif. Dalam tahap berikutnya mulai kelihatan batasan-batasan yang dimiliki oleh LSM, ketika mereka mengecam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rejim otoriter waktu itu, mereka seakan- akan melupakanpelanggaran hak asasi patron mereka yaitu Amerika dan Uni Eropa yang telah berjasa memberikan uang kepada mereka. Jadi dengan kata lain, kekuatan asing yang mendanai mereka telah membatasi ruang gerak kritik dan aksi mereka untuk membela hak asasi manusia.

Ketika semakin banyak orang yang menentang kebijakan neo liberal di awal tahun 80-an, Amerika Serikat dan Eropa serta Bank Dunia justru meningkatkan bantuan dana yang diberikan kepada LSM. Jadi ada hubungan antara bangkitnya gerakananti neo-liberalisme dan usaha untuk menghacurkan itu dengan cara menciptakan bentuk aksi sosial yang baru melalui LSM -LSM yang menjamur seperti di musim hujan. Dasar utama kerjasama di antara LSM dan Bank Dunia adalah mereka mempunyai musuh yang sama yakni "konsep peran negara" (statism). Kalau kaum Post Marxis mengkritik peran negara dari perspektif bahwa yang penting adalah membangun masyarakat sipil (civil society), sementara itu dari sayap kanan serangan dilancarkan atas nama kepentingan pasar (market). Pada kenyataannya, Bank Dunia, rejim neo-liberal dan lembaga donor internasional justru mengkooptasi dan mendorong LSM untuk melupakan konsep negara kesejahteraan (welfare state) dengan menyalurkan jasa pelayanan sosial bagi kompen-sasi korban dari perusahaan multinasional. Dengan kata lain, rejim neo-liberal pada tingkatan atas (pusat) bekerja untuk menghancurkan masyarakat dengan membanjiri negara dunia ketiga dengan impor mereka, hutang luar negeri ataupun kredit lunak dan menghapuskan kebijakan perburuhan yang demokratis, menciptakan jumlah tenaga kerja murah dan pengangguran. Di sisi lain LSM didorong untuk memberikan pendidikan dan training, proyek berdikari dan kemandirian, mengkooptasi pemimpin lokal dan meng-hancurkan perjuangan kelas.

LSM telah menjadi bagian dari masyarakat neo liberal, dan jelas berhubungan dengan para petinggi neo-liberal danmempersenjatai dirinya dengan kerja mereka yang destruktif di tingkatan bawah. Jelasnya, neo liberal mempunyai senjata berupa pisau bermata dua. Sayangnya, kebanyakan kaum kiri revolusioner hanya memfokuskan pada kaum neo liberal yang muncul dari atas dan luar negeri yaitu IMF dan Bank Dunia dan banyak kaum revolusioner yang melupakan neo liberalisme dari dalam dan dari bawah seperti LSM dan koperasi pengusaha kecil. Kegagalan mereka melihat ini adalah karena banyaknya bekas Marxis yang masuk ke LSM dan terjun di LSM. Post Marxis adalah ideologi, sementara community development sebagai tiket dari politik kelas menuju "pengembangan komunitas" , dari Marxis ke LSM.

Ketika neo liberalisme berusaha memindahkan atau mengalihkan badan usaha milik negara dan asset negara ke tangan swasta asing, LSM tidak pernah terlibat dalam perjuangan buruh melawan kebijakan ini, ataupun mencoba mengkritik. Sebaliknya mereka aktif di proyek proyek swasta kecil, mempromosikan usaha wiraswasta di tingkatan daerah dengan memfokuskan pada usaha koperasi kecil. LSM berusaha membangun jembatan penghubung antara kapitalis kecil dengan pengusaha besar yang memonopoli proses swastanisasi asset nasional dan asset publik, semuanya diatas namakan kepentingan masyarakat sipil dan mengurangi peran negara. Ketika kaum kapitalis menumpuk modalnya serta membangunkerajaan bisnis mereka melalui proses swastanisasi , kelompok LSM pun kebagian keuntungan dengan mendapatkan sedikit bagian dari keuntungan itu untuk membiayai kantor mereka, uang transport, kompu-terisasi, seminar-seminar dan usaha kecil-kecilan. Hal yang paling penting untuk dicatat adalah peran LSM dalam mendepolitisasi sektor rakyat, menghancurkan peran pegawai negeri yang melayani kepentingan umum, dan mengkooptasi para pemimpin yang ber-potensi dari proyek-proyek mereka. LSM tidak pernah turun membela para guru yang melawan kebijakan neo liberal yang memangkas anggaran pendidikan. Bisa dihitung dengan jari berapa kali LSM mendukung pemogokan buruh dan protes menentang upah rendah dan pemotongan anggaran untuk sektor publik. Karena anggaran pendidikan mereka didanai oleh pemerintahan neo liberal, mereka menolakmemberikan solidaritas kepada para tenaga pendidik yang berjuang melawan pemerintah.

Pada prakteknya, LSM atau ornop adalah organisasi yang pro pemerintah. Mereka menerima anggaran dari pemerintah asing, dan bekerja sebagai sub-kontraktor bagi pemerintahan mereka sendiri. Sering sekali mereka bekerja sama dengan lembaga pemerintahan di dalam negeri maupun luar negri . Sub-kontrak yang mereka lakukan te-lah mengubah mereka menjadi sekelompok profesional yang pro bisnis. LSM tidak mampu memberikan program komprehensif untuk jangka waktu panjang seperti yang disediakan oleh negara kesejahteraan, hasil nyata yang dapat mereka berikan hanyalah pelayanan kepada sekolompok kecil orang di daerah tertentu saja. Yang terpenting program mereka dianggap layak jual bagi lembaga donor internasional, tidak penting nilainya di mata masyarakat yang mereka jadikan obyek. Dalam kasus ini LSM telah menghancurkan nilai-nilai demokrasi dengan mengambil alih semua program sosial ke tangan mereka dari rakyat dan mereka memilih pegawai dan pengurus yayasan tanpa melibatkan massa rakyat yang mereka jadikan obyek, jadi mereka mengangkat sekelompok orang yang tergantung pada kebijakan lembaga donor internasional.

LSM mengalihkan perhatian rakyat dari perjuangan melawan anggaran pendapat-an dan belanja nasional demi melanggengkan anggaran yang disediakan untuk mereka. Sikap ini telah memberikan ruang gerak bagi kaum neo liberal untuk memotong anggaran subsidi sektor publik dan mengalihkannya untuk membayar hutang bank-bank besar maupun hutang para eksportir. Para kaum miskin membayar pajak kepada negara dan tidak memperoleh apa-apa, kelas buruh harus bekerja lembur tanpa dibayar, mereka menjadi obyek penelitian bagi LSM dan tidak pernah dibela oleh LSM. Ideologi kaum LSM adalah "aktifitas sukarela untuk kepentingan sendiri" (private voluntary acitivity)", ideologi ini seakan-akan mengingkari peran pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk memelihara warga negara dan memberikan jaminan hidup yang layak, kebebasan dan jaminan atas kebahagian mereka. Yang dikampanyekan oleh kaum LSM adalah ide kaum neo liberal bahwa tanggung jawab pribadi untuk memecahkan masalah sosial dan pentingnya kemampuan masing masing pribadi untuk memecahkan masalah sosial. Jadi mereka melipat gandakan penindasan pada kaum miskin, sudah dipaksa membayar pajak untuk membiayai proyek rejim neo liberal yang mana pajak itu hanya dipakai melayani kepentingan si kaya, disuruh pula memenuhi sendiri kebutuhan dasarnya sebagai warga negara.

LSM DAN GERAKAN SOSIAL POLITIK

LSM menekankan pada proyek-proyek yang tidak berorientasi aksi dan masuk dalam konteks gerakan masssa. Mereka hanya memobilisasi orang-orang pada tingkatan paling rendah dan bukan untuk perjuangan yang memberi mereka kesempatan mengontrol basis produksi dan kekayaan. Mereka hanya memfokuskan pada bantuan finansial secara teknis kepada orang miskin dan tidak melihat permasalahannya secara struktural dan mereka tidak mampu memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan rakyat miskin yang menjadi obyek mereka. LSM mencuri terminologi kaum kiri revolusioner yaitu "people power", pemberdayaan, persamaan hak (gender equality), dan arus bawah (bottom up leadership). Mereka telah mencuri istilah-istilah dan memakainya dalam kerangka kolaborasi dengan negara donor dan lembaga pemerintah yang telah mensubordinasi mereka. Mereka selalu mengatakan bahwa semangat kegiatan dan aktifitas mereka adalah "pemberdayaan" yang tidak pernah mampu memberdayakan sekelompok kecil masyarakat di lingkungan tertentu dengan sejumlah dana dan tenaga yang terbatas.

LSM dan para manajer post Marxis mereka tenggelam dalam persaingan antar mereka sendiri untuk melakukan aktifitas sosial politik yang bertujuan untuk memberikan pengaruh di antara kaum miskin, wanita dan kaum kulit berwarna. Ideologi mereka jauh dari sumber masalah dan jalan keluar dari kemiskinan yang menjadi obyek penelitian mereka. Mereka selalu mendengung-dengungkan usaha-usaha kecil ( micro enterprises) sebagai jalan keluar, tanpa memperhitungkan eksploitasi oleh Bank Dunia. Di sisi lain, bantuan mereka juga menciptakan masalah di tengah masyrakat yang terbuai dengan bantuan-bantuan dan janji -janji muluk LSM, muncul persaingan di antara masyarakat juga untuk mencari simpati dari LSM dan melupakan solidaritas kelas di antara mereka sendiri. Hal yang sama juga terjadi dikalangan LSM dimana masing-masing kelompok berlomba-lomba untuk mendirikan LSM untuk mendapatkan dana dari luar negri. Ketika pada suatu saat proyek-proyek LSM ini menyurut karena mereka kehabisan ide atau masalah internal lainnya, para lembaga donor justru mengalihkan pendanaan mereka kepada LSM yang jelas-jelas bekerja sama dengan pemerintah, dan mendesakkan kebijakan neo liberal dijalankan melalui LSM tersebut.

Strategi Pemilu yang menjadi senjata utama kaum post marxis justru memberikan peluang kepada partai politik yang disponsori oleh kaum neo-liberal dan media massa borjuis. Pendidikan politik tentang imperialisme dan hubungan kelas antara pemilik modal dan buruh sama sekali tidak menjadi agenda mereka. Mereka mengkooptasikan kaum miskin kepada agenda neo liberal dengan menekankan konsep kemandirian, mereka menciptakan dunia politik yang mana solidaritas dan aksi sosial perlu dibicarakan terlebih dahulu dengan lembaga donor internasional dan struktur aparatus negara.

Bukan kebetulan kalau LSM menjadi dominan dan tumbuh subur di beberapa negara di mana aksi perjuangan kelasnya sedang menurun dan rejim neo liberal sedang melaju dengan kencangnya. Jelasnya laju pertumbuhan sejumlah LSM ditentukan oleh meningkatnya pendanaan dari luar negeri yaitu rejim neo-liberal dan meningkatnya angka kemiskinan di sebuah negara. Di sisi lain gerakan kiri revolusioner sedang mengalami kemunduran di mana banyak para gerilyawan dan aktifis kiri revolusioner, aktifis buruh, organisasi wanita rakyat telah dikooptasi oleh LSM. Mereka telah ditawari gaji yang tinggi, kedudukan dan jaminan dari lembaga donor internasional dan undangan di konferensi interansional dan jaminan tidak akan ditangkap dan disiksa oleh militer. Hal itu berbanding terbalik dengan gerakan sosial politik yang hanya mendapatkan sejumlah kecil keutungan material tapi mendapatkan respek yang besar dan idenpendensi serta yang lebih penting adalah kemerdekaan, kebebasan untuk menentang sistem ekonomi dan politik neo liberal. LSM dan bank-bank multinasional pendukung mereka sering mempublikasikan newsleteryang menceritakan tentang kesuksesan dari koperasi usaha kecil dan konsep kemandirian mereka, tanpa mereka menyebutkan tingginya suku bunga, rendahnya daya konsumsi masyarakat serta impor yang membanjiri pasar dalam negeri, seperti kasus Mexico saat ini.

Mungkin kesuksesan mereka benar-benar nyata, tapi itu hanya berlaku bagi sebagian kecil kelompok orang miskin. Meningkatnya angka kejahatan dan kekerasan di daerah-daerah kerja mereka merupakan indikasi bahwa LSM belum berhasil meng-gantikan gerakan sosial politik yang independen.

Akhir kata, LSM merupakan bentuk baru dari penjajahan di bidang ekonomi dan kultural serta ketergantungan gaya baru. Proyek-proyek mereka didesain atau paling tidak ditentukan secara garis besar oleh lembaga donor internasional mereka. Mereka diurus dan dijaga oleh lembaga donor mereka dan dijual kepada rakyat. Evaluasi kerja mereka juga dilakukan oleh lembaga donor tersebut.

Ketika sudah jelas bahwa LSM adalah instrumen dari rejim neo-liberal, masih ada sekelompok kecil orang yang mencoba memberikan alternatif yaitu perjuangan kelas dan politik anti imperialisme. Tidak ada satupun dari mereka yang menerima dana bantuan dari funding agency, dari pemerintah Amerika, Eropa maupun Bank Dunia. Mereka beru-saha menghubungkan kekuatan lokal ke arah perjuangan kelas melawan kekuasaan ne-gara. Mereka memberikan solidaritas politik kepada gerakan sosial yang terlibat dalam perjuangan kelas di berbagai sektor. Mereka mendukung perjuangan kaum wanita me-menangkan prespektif kelas. Mereka percaya bahwa organisasi lokal harus dibawa ke arah perjuangan nasional dan kepemimpinan nasional harus dibisa diterima oleh aktivis di tingkat bawah. [pembebasan]***

Top Ad 728x90

Top Ad 728x90